Yuslim Aulia Hayati
130211614082
Fakutas Sastra
Jurusan Sastra Indonesia
No Hp 0857 3667 4178
Aku adalah Aku
Nama
ku, Aulia Rahma, aku seorang siswi kelas X di sebuah SMK. Aku mempunyai 3 orang
adik, ibuku seorang pedagang, dan ayahku seorang buruh bangunan. Setahun yang
lalu kehidupan keluargaku masih baik-baik saja, setahun yang lalu aku dan
adik-adikku masih bisa tertawa, dan setahun yang lalu nilai diraporku masih
bagus. Sekarang semua kenangan itu telah lenyap, kehidupan keluargaku hancur, ayahku
dikeluarkan dari pekerjaannya, ibuku sakit-sakitan, dan yang lebih menyedihkan
kini tak ada tawa yang menghias wajah adik-adikku lagi. Ayam jantan berkokok
nyaring, matahari masih malu-malu mengintip dibalik awan. Huaaah... sepertinya
seusai sholat shubuh tadi aku pasti tertidur lagi, kulihat jam dinding, haaah!
Pukul enam pagi? Astaga, aku bisa terlambat ke sekolah!
Akhirnya
sampai di sekolah, tepat pukul setengah tujuh pagi. Ternyata sekolah masih
sepi, hanya ada beberapa siswa saja. Tiba-tiba handphone ku bergetar,
nnrrrrttth... nnrrrrrtttthh... ada pesan singkat dari temanku, Dian.
Dian> Woi! Qm dmn?
Aku di depan kelasmu! Cpt ksni...
Aku> Bentar2, aq ksana!
Ternyata dia
datang lebih awal dari aku, senang sekali punya teman seperti dia, bisa diandalkan.
Sejak kelas 1 SMP sampai sekarang kami bersahabat, cukup lama bukan. SD, SMP,
dan SMK kami selalu satu sekolah. Berangkat sekolah, belajar, semua hal kami
lakukan bersama-sama. Sepertinya pagi ini Dian terlihat sangat senang, apa
kemarin terjadi sesuatu? Aku tidak tahu, yang jelas aku senang bisa bersahabat
dengannya. Bahkan kami sempat berjanji akan pergi melamar pekerjaan
bersama-sama juga.
“Hei..!!
lama banget sih! Aku sudah nuggu lama di depan kelas mu dari tadi..” ujarnya
cepat. “Eh, iya maaf, maaf, kamu jangan marah yaa? Memangnya ada apa kok tumben
kamu nuggu aku di depan kelas?” kataku merasa bersalah
“Iya, ngga apa-apa, aku mau kasih tau, kemarin
kakakku membelikan tas baru dari Malaysia, nih lihat!” jawabnya dengan gembira.
Aaaah... ternyata benar dugaanku, dia memang sedang gembira. Dia baru saja
dibelikan tas bermerek dari Malaysia.
“Waaah..
tas baru..!!! tas yang bagus, kamu beruntung sekali!” kataku ikut senang. Ya,
memang benar, itulah sifatnya, apabila ia memiliki barang baru, orang pertama
yang ia beritahu adalah aku. Tas barunya memang sangat bagus, berbeda dengan
tasku, sudah enam tahun aku memakai tas yang sama. Meskipun usang, namun aku
bangga memakainya, karena ibuku yang membelikannya untukku dengan susah payah.
Terkadang aku merasa iri padanya, dia bisa membeli apapun yang dia inginkan,
aku ingin seperti itu juga, tapi aku tidak menyesal dilahirkan dari keluarga
yang kurang mampu. Ah, sekarang bukan saatnya untuk membahas tentang itu. Bel
tanda masuk berbunyi, pelajaran dimulai dan berjalan lancar, bel tanda pulang
sekolah berbunyi, hari ini aku dan Dian berjanji akan pulang bersama-sama. Aku
berjalan keluar kelas, ada seseorang yang memanggilku, ternyata Wendy, dia teman
sekelasku.
“Lia!
Tunggu bentar, ada seseorang yang mau bertemu kamu! Ayo sini ikut aku
sebentar!!” ujarnya sambil menarik tanganku.
“Eh,
eh, eh.. mau dibawa kemana aku? Jangan erat-erat tariknya, tangan ku sakit..”
kataku sambil meringis. Ternyata dia tidak mempedulikan kata-kata ku, aku
merasa ada yang aneh dengan sikapnya hari ini, tidak biasanya dia seperti itu.
Aku juga merasa bersalah pada Dian, mungkin saat ini dia sedang menungguku di
depan gerbang sekolah. Wendy terus menarikku hingga ke taman belakang sekolah,
dari kejauhan sudah terlihat beberapa teman-teman sekelasku. Ada dua orang
teman perempuanku, Laila dan Rena dan tiga orang teman laki-lakiku, Jay,
Nanang, dan Alfan. Mereka berlima memandang kearah Wendy dan aku yang sedang
berlari. Aneh sekali, mengapa mereka berkumpul di taman belakang sekolah? Dan
mengapa Wendy menarikku ke tempat ini? Sungguh membingungkan, kami tiba di
depan mereka, kami bertujuh saling berpandangan, tetapi Wendy dan kelima
temanku sepertinya menyembunyikan
sesuatu. Setelah beberapa saat tidak ada suara, akhirnya ku beranikan diri
untuk bertannya.
“Ehem,
sebenarnya ada apa kok aku ditarik-tarik kesini? Aku mau pulang, sudah ditunggu
temanku di depan gerbang sekolah.” kataku datar
“Eeeiits,
tunggu dulu! Alfan mau bicara sesuatu ke kamu. Kalau begitu kami tinggal dulu..”
Ucap Jay spontan
“Haaah...?
kok malah ditinggal sih? Jadi Cuma Alfan saja yang mau bicara sama aku? Kenapa
ngga jam istirahat tadi?” jawabku kesal. Wendy. Rena, Laila, Nanang, dan Jay
meninggalkan kami berdua saja. Berdua? Otakku mulai berpikir cepat, ada apa
sebenarnya? Mengapa mereka meninggalkan kami berdua? Batinku keheranan.
“Kamu
mau bicara apa? Kalau ngga jadi ngomong, lebih baik aku pulang aja.” Ucapku
datar.
“Tt..ttunggu
dulu, aa..aku cinta kamu! Aa..aku mau kamu jadi pacarku!!” ujarnya
terbata-bata. Aku terkejut dia berkata seperti itu, kata-kata itu, sudah lama
aku ingin seseorang mengatakannya padaku. Akhirnya aku putuskan untuk menerima
cintanya, dia adalah cinta pertamaku sekaligus pacar pertamaku, ternyata
hubungan sepasang kekasih tidak selamanya indah. Aku tidak menemukan diriku
yang dulu, diriku yang tabah dan tegar menghadapi setiap masalah, aku berubah
nenjadi seorang yang egois, mau menang sendiri, dan berani menentang ibuku.
Selama tiga minggu kami berpacaran, hubungan kami tidak prnah mulus, dan aku merasa
terlalu jauh dari keluargaku, terutama ibuku.
Akhirnya
hari kamis pagi, kuputuskan untuk mengakhiri hubungan ku dengan Alfan, dia
merasa sangat kecewa. Hari ini aku kehilangan kekasihku, sahabatku Dian, dan
ayahku. Ayahku memutuskan untuk menikah lagi dan sahabatku meninggalkan ku
karena menemukan teman yang selevel dengannya. Sepulang sekolah aku menangis
sejadi-jadinya di depan ibuku, beliau pun ikut menangis.
“Ibuuuu....
maafkan aku... aku tidak mendengarkanmu, aku memberontak dan membuat ibu kecewa.
Ibu mengapa ayah menikah lagiiii...? mengapa buuu...? apa salah kita buu...?
apa salah kitaaa.. aku hanya ingin kebahagian buu.. mengapa kebahagiaan itu
tidak datang..??” tanyaku sambil menangis. Kemudian ibu memelukku, beliau
memelukku dengan erat.
“Ibu
sudah memaafkan mu, kamu harus sabar dan tabah, kebahagiaan pasti akan datang.
Rajin sholat, berdoa kepada Allah SWT, dan berusaha sayaang... niscaya Allah
akan memberikan kebahagiaan nak... Ibu sangat menyayangi mu dan juga adik-adik
mu..” jawab beliau sambil terus menangis.
Hari
itu, hari dimana aku kehilangan orang-orang yang berharga dalam hidupku,
sahabatku, ayahku, dan juga kekasihku. Aku akan terus mengingatnya, sebagai
pembelajaran dalam hidupku, kini aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku
akan mencari kebahagiaan untukku, untuk ibuku, dan juga adik-adikku. Aku tidak
ingin menjadi kakak yang buruk di mata adik-adikku, aku harus menjaga mereka,
menbantu mewujudkan cita-cita dan harapan mereka. Setahun, dua tahun berlalu,
aku telah menjadi diriku sendiri, aku telah kembali menjadi diriku yang dulu.
Diriku yang penurut, tabah, dan tegar setiap menghadapi masalah, aku merasa
senang meskipun tanpa seorang kekasih, namun selama dua tahun ini aku mempunyai
sahabat baru, yaitu Rena, di teman sekelasku.
Dia
yang membantuku untuk melupakan mantan kekasihku, menemaniku saat aku menangis,
memberiku semangat, dan memberiku keteguhan untuk terus berusaha saat di
sekolah. Kami punya visi dan misi yang sama, kami ingin melanjutkan studi ke
Universitas negeri. Dia bukan dari golongan keluarga kaya, kehidupan
keluarganya hampir sama sepertiku. Meskipun kami berbeda keyakinan, aku islam
sedangkan dia kristen, namun kami tetap saling menghormati satu sama lain.
“Ren.
Ayo pulang sudah jam tiga nih, masa kita mau baca buku terus diperpustakaan.
Kasihan penjaganya, ayo pulang..” ajakku
“Yaaahh...
sayang banget, tanggung niih... tinggal sedikit lagi... lagi seru-serunya.”
Jawabnya merajuk.
“Besok
kita lanjutkan lagi bacanya, nanti orangtua mu mencari mu.” Kataku sambil
tersenyum
“Oke,
deh. Ayo pulang, tapi janji yaaa... besok kita baca buku di perpustakaan lagi?”
tanyanya sambil membalas senyumku.
“Iyaaaa...
Aku janji sobat!!” jawabku masih sambil
tersenyum. Begitulah hari-hari yang ku lalui bersama sahabatku, aku membantu
ibuku mengantarkan kue ke pasar, mengantarkannya ke warung-warung makan dekat
rumah. Aku dan keluargaku memulai usaha berjualan kue setahun yang lalu, dan
Alhamdulillah sekarang kami punya pelanggan tetap. Hari pengumuman SNMPTN tiba,
aku dan Rena tidak diterima alias tidak lolos. Kami sempat kecewa, tapi kami
tidak berhenti menyerah. Aku mengikuti tes SBMPTN, namun Rena tidak karena dia
tidak punya uang untuk membeli formulir tes. Pengumuman SBMPTN pun tiba, aku
diterima di Universitas negeri favorit.
Hari
ini aku sudah menjadi mahasiswa, jika diingat-ingat, dua tahun yang lalu aku
adalah remaja yang egois, suka memberontak pada orangtua, tidak peduli
lingkungan sekitar, dan banyak hal buruk yang lainnya. Dua tahun yang lalu aku
sering membuat masalah bagi keluargaku. Dan dua tahun yang lalu, aku pernah
kehilangan sesuatu yang berarti dalam hidupku. Namun perubahan pada diriku
terjadi secara bertahap, kekuatan dan semangat yang diberikan oleh keluarga
kecilku menjadi pondasi yang kuat untukku. Aku teringat akan kata-kata dari
acara reality show favoritku, “kamu adalah kamu, menyenangkan bukan...?”
kata-kata itu memberiku semangat bahwa aku tidak harus menjadi orang lain, aku
harus bisa mengendalikan diriku sendiri. Tiba-tiba handphone ku bergetar, nnnrrrrrtthh...
nrrrrrttthh.... ternyata ada pesan singkat dari Rena. Kami tetap berhubungan
melalui pesan singkat, chatting di sosial media, maupun email.
Rena> Bagaimana
cerpenmu? Udah dikumpulkan lum? Aduh. Aku ngga sabar ingin membacanya! Kirim ke
email ku yaaa... semangat! Aku tunggu... my best friendJ.
Aku> Aduh aku,
deg-degan niiich... doain aku yaaa... Bismillahi tawakkal tu’ alallah, laa
hawlawalakuwata illabillah! Oke my best friend! Semangat! J
Hari
ini aku menyerahkan cerpen hasil karya ku ke panitia lomba, ini adalah salah
satu bentuk perjuanganku mengubah masa depan. Kamu adalah kamu, itu yang sering
diucapkan oleh ibuku. Aku adalah aku, aku tetaplah aku yang dulu, bukan sebuah
topeng dari orang lain, dan juga bukan tiruan dari orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar