BAB 7 KLASIFIKASI, DISTRIBUSI, REALISASI FONEM BAHASA INDONESIA
A. KLARISIFIKASI FONEM BAHASA INDONESIA
B. DISTRIBUSI FONEM BAHASA INDONESIA
Dalam pemakaianya, fonem-fonem bahasa Indonesia menyebar ke posisi onset silaba, nuklus silaba, dan koda silaba. Posisi onset dan koda diduduki fonem konsonan, sedangkan posisi nuklus diduduki fonem vocal. Hanya saja, dalam praktiknya direalisasikan dalam berbagai variasi bunyi sebagai alofonya. Hal ini karena dipengaruhi oleh lingkunganya.
Berkaitan dengan ini, parera (1983: 38-40) tidak hanya berfokus pada lingkungan silaba atau suku kata, tetapi juga pada lingkungan tutur, kata, morfem, dan unsure suprasegmental. Penglihatan distribusi fonem yang demikian didasarkan pada kesemestaan bahasa bias ditemukan model distribusi fonem semacam ini.
Kemungkinan distribusi fonem tersebut terangkum seperti berikut.
1. Kemungkinan Distribusi Fonem Vokal
a. Dalam hubungan dengan tutur (t) Diagram:
(1) Inisial/awal Vt--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur t---------V------------
(3) Medial/tengah antartutur t----------Vt---------
(4) Final/akhir t----------------------k
b. Dalam hubungan dengan kata (k)
(1) Inisial/awal Vk--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur k---------V------------
(3) Medial/tengah antartutur k----------Vk---------
(4) Final/akhir k----------------------k
c. Dalam hubungan dengan morfem (m)
(1) Inisial/awal Vm--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur m---------V------------
(3) Medial/tengah antartutur m----------Vm---------
(4) Final/akhir m----------------------k
d. Dalam hubungan dengan silaba (s)
(1) Inisial/awal Vs--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur s---------V------------
(3) Medial/tengah antartutur s----------Vs---------
(4) Final/akhir s----------------------k
e. Dalam hubungan dengan fonem konsonan
(1) Mendahului fonem konsonan Vkonsonan
(2) Antara fonem konsonan konsonanVkonsonan
(3) Setelah fonem konsonan konsonanV
f. Dalam hubungan dengan ciri-ciri suprasegmental
(1) Ada tekanan Vtekanan
(2) Ada nada Vnada
(3) Ada durasi Vdurasi
(4) Ada sendi Vsendi
2. Kemungkinan Distribusi Fonem Konsonan
a. Dalam hubungan dengan tutur (t)
(1) Inisial/awal Kt--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur t---------t------------
(3) Medial/tengah antartutur t----------Kt---------
(4) Vinal/akhir t----------------------K
b. Dalam hubungan dengan kata (k)
(1) Inisial/awal Kk--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur k---------K------------
(3) Medial/tengah antartutur k----------Kk---------
(4) Final/akhir k----------------------K
c. Dalam hubungan dengan morfem (m)
(1) Inisial/awal Km--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur m---------K------------
(3) Medial/tengah antartutur m----------Km---------
(4) Final/akhir m----------------------K
d. Dalam hubungan dengan silaba (s)
(1) Inisial/awal Ks--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur s---------K------------
(3) Final/akhir s----------------------K
e. Dalam hubungan dengan fonem vocal
(1) Mendahului konsonan Kvokal
(2) Antara konsonan vokalKvokal
(3) Setelah konsonan vokalK
3. Kemungkinan Distribusi Fonem Diftong
a. Dalam hubungan dengan tutur, kata, dan/atau morfrm (t/k/m)
(1) Inisial/awal Dt/k/m--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur t/k/m---------D------------
(3) Medial/tengah antartutur t/k/m -------Dt/k/m------
(4) Final/akhir t/k/m ----------------------D
b. Dalam hubungan dengan silaba (s)
(1) Tidak silabis Dtaksilabis
(2) Vokal I silabis Dv1silabis
(3) Vokal II silabis Dv2silabis
c. Dalam hubungan dengan fonem konsonan
(1) Mendahului fonem konsonan Dkonsonan
(2) Antara fonem konsonan konsonanDkonsonan
(3) Setelah fonem konsonan konsonanD
4. Kemungkinan Distribusi Fonem Kluster
a. Dalam hubungan dengan tutur, kata, dan/atau morfrm (t/k/m)
(1) Inisial/awal Kt/k/m--------------------
(2) Medial/tengah dalam tutur t/k/m---------KL------------
(3) Medial/tengah antartutur t/k/m -------KLt/k/m------
(4) Final/akhir t/k/m ----------------------KL
b. Dalam hubungan dengan silaba (s)
(1) Tidak silabis KLtaksilabis
(2) Vokal I silabis KLk1silabis
(3) Vokal II silabis KLk2silabis
c. Dalam hubungan dengan fonem konsonan
(1) Mendahului fonem konsonan KLkonsonan
(2) Antara fonem konsonan konsonanKLkonsonan
(3) Setelah fonem konsonan konsonanKL
C. REALISASI FONEM BAHASA INDONESIA
D. FONEM GRAFEM BAHASA INDONESIA
Grafem atau sistem perlambangan bunyi – alih-alih disebut sistem ejaan – ini ada dua macam, yaitu grafem yang mengikuti fonetis dan grafem yang mengikuti sistem fonemis.
sistem penulisan bahasa Indonesia (yang dipakai selama ini) mengikuti ejaan fonemis, walaupun tidak sepenuhnya, sebab, kalau benar-benar mengikuti ejaan fonemis,mestinya satu fonem dilambangkan satu huruf. Kenyataanya tidak demikian. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Masih dijumpai minimal dua masalah terkait dengan pelambangan fonem, yaitu (1) satu fonem dilambangkan dua huruf, dan (2) dua fonem dilambangkan satu huruf.
1. Fonem /η/, /ñ/, /x/, dan /š/ masing-masing dilambangkan <ng>,<ny>, <kh>, dan <sy>.
Contoh :
/meηaηa/ <menganga>
/ñañi/ <nyanyi>
/šarat/ <syarat>
2. Fonem /e/ dan /ə/ dilambangakan <e>
Contoh :
/sate/ <sate>
/bərat/ <berat>
Walapun demikian, EYD yang digunakan sekarang ini sudah berusaha untuk mengurangi kelemahan ejaan sebelumnya. Ejaan van Ophuisen dan ejaan suwandi lebih banyak kelemahanya.
Pada ejahan van ophuijsen:
1. Fonem /u/, /j/, /c/, /η/, /ñ/, /x/, dan /š/ dilambangkan dengan hurup: <oe>, <dj>, ,<ng>, <nj>, <ch>, <ch>, dan <sj>.
Contoh :
/untuk/ <oentoe’>
/jəjak/ <djedja’>
/cacat/ <tjatjat>
/meηaηa/ <menganga>
/ñañi/ <nyanyi>
/maxluk/ <machlu’>
/šarat/ <sjarat>
2. Fonem /k/ dilambangkan <’>
Contoh :
/tidak/ <tida’>
3. Fonem /e/, /ə/, dilambangkan /e/.
Contoh:
/sate/ <sate>
/bərat/ <berat>
Pada ejaan Suwandi
1. Fonem /j/, /c/, /η/, /x/, dan /š/ dilambangkan <dj>, <tj> <ng>, <nj>, <ch>, dan <sj>
Contoh:
/jəjak/ <djedjak>
/cacat/ <tjatjat>
/meηaηa/ <menganga>
/ñañi/ <nyanyi>
/maxluk/ <machluk>
/šarat/ <sjarat>
2. Fonem /e/, /ə/, dilambangkan /e/.
Contoh:
/sate/ <sate>
/bərat/ <berat>
3. Fonem /f/, /v/ /z/ belum diakui sebagai fonem bahasa Indonesia sehingga dalam penerapanya disesuaikan ke lambang-lambang yang mirip yaitu <p> (untuk f dan v) dan <j> (untuk /z/).
BAB 8
CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA
A. NADA
Dalam penuturan bahasa Indonesia, tinggi rendahnya (nada) suara tdak fungsional atau tidak memberikan makna. Oleh karena itu, dalam kaitanya dengan pembedaan makna, nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis. Walaupun demikian, ketidakfonemisan ini tidak berarti tidak ada dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya factor ketegangan pita suara, arus udara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga, posisi pita suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi.
B. TEKANAN
Tekanan dalam tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud dalam tataran kalimat (sintaksis), tetapi tidak membedakan tataran kata (leksis). Hanya kata-kata yang dipentingkan yang mendapatkan tekanan (aksen).
Contoh pada kalimat Kemarin teman saya menyimpan uang di bank, misalnya bisa diucapkan dengan enam kemungkinan variasi tekanan sebagai berikut.
1) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,
2) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,
3) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,
4) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,
5) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,
6) Kemarin teman saya menyimpan uang di bank,
Kalimat (1) mendapat tekanan pada kemarin, maksudnya adalah ‘teman saya menyimpan uang di bank kemarin, bukan sekarang atu waktu lain’. Kalimat (2) mendapat tekanan pada teman, maksudnya adalah ‘ yang kemarin menyimpan uang di bank adalah teman saya’. Kalimat (3) mendapat tekanan pada saya. Maksudnya ‘ memang teman saya yang menyimpan uang di bank, bukan teman kamu atau yang lain’. Kalimat (4) mendapat tekanan pada menyimpan, maksudnya ‘ kemarin memang teman saya menyimpan uang di bank, bukan menukar atau yang lainya’. Kalimat (5) mendapat tekanan pada uang, maksudnya ‘ yang disimpan oleh teman saya di bank adalah uang bukan barang berharga yang lain’. Kalimat (6) mendapat tekanan pada di bank, maksudnya, kemarin teman saya memang menyimpan uang di bank, bukan di tempat lainya’.
C. DURASI
Durasi atau panjang-pendeknya ucapan dalam bahasa Indonesia tidak fungsional dala tataran kata, silaba pertama pada kata [jatuh] di ucapkan [ja:tuh] bermakna sama panjang.
Dalam tataran kalimat, ucapan panjangpada silaba terakhir bermaksud mencari perhatian atau penyangatan, misalnya dalam kalimat berikut.
1. Awas, jatuh! diucapkan [awa:s / jatu:h]
2. Satu, dua, tiga!. diucapkan [satu: / dua: / tiga]
3. Dia sangat perhatian padaku. diucapkan [diya saηat pərhatiyan padaku]
D. JEDA
Jeda atau kesenyapan ini terjadi di antara dua bentuk linguistik, baik antarkalimat, antarfrase, antarkata dan antarmorfem, antarsilaba maupun antarfonem. Jeda antar dua bentuk kalimat lebih lama di banding dengan jeda antarkata begitu juga seterusnya.
Dalam bahasa Indonesia, jeda ini terasa lebih fungsional bila dibanding dengan suprasegmental yang lain. Perhatikan perbedaan jeda pada kalimat berikut.
1). Anak / pejabat yang nakal itu telah dimajahijaukan.
2). Anak pejabat / yang nakal itu telah dimejahijaukan.
Dengan perbedaan jeda agak lama antara anak dan pejabat (kalimat 1 ) danantara penjabat dan yang (kalimat 2)makna kalmat itu berbeda. Pada kalimat (2)
‘yang nakal adalah anak pejabat’.
(3) Ia membeli buku / sejarah baru
(4) Ia membeli buku sejarah / baru
Dengan perbedaan jeda yang agak lama antara buku dan sejarah baru (kalimat 3) dan antara buku sejarah baru (kalimat 4), kedua frase tersebut berbeda maknanya. Pada frase kalimat (4) ‘yang baru adalah bukunya.
E. INTONASI
Berbeda dengan nada, intonasi dalam bahasa Indonesia sangat berperan dalam perbedaan maksud kalimat, bahkan, dengan dasar kajian pola-pola intonasi ini, kalimat bahasa Indonesia dibedakan menjadikalimat berita (deklaratif), kalimat Tanya (introgratif). Dan kalimat perintah (imperative)
Perhatikan contoh kalimat berita berikut.
1. Rumah 1a Rumah,
2 31t#
2. Rumah mahal 2a Rumah mahal
2 33 / 2 31t#
3. Rumah sekarang mahal 3a Rumah Sekarang mahal
2 33/ 2 33 / 2 31t#
Perhatikan kalimat Tanya berikut
4. Rumah? 4a rumah?
2 31n#
5. Apa rumah sekarang mahal? 5a apakah rumah sekarang mahal?
2- 32/2 33/2 31t#
6. Rumah sekarang apa mahal ? 6a rumah sekarang apa mahal ?
2 32/2 32/2- 31n#
Kalimat perintah
7. Kamu ke sini! 7a kamu kesini!
2 33/3 31g#
8. Ke sini kamu! 8a ke sini kamu !
3 33/2 31g#
9. Kamu sekarang kesini! 9a kamu sekarang ke sini!
2 33/2 33/3 31g#
BAB 9
PERUBAHAN BUNYI DALAM BAHASA INDONESIA
A. Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi yang sama atau yang hampir sama. Perhatikan contoh di bawah ini.
1) Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apiko-dental. Tetapi, setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [stOp’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian dapat disim-pulkan bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilaskan artikulasinya dengan [s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi progresif.
2) Kata bahasa Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak’] dengan [k] velar tidak bersuara, dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara. Ketika kedua kata itu digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu tangan’, diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar bersuara karena dipengaruhi oleh bunyi [d] yang mengikutinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa [k] pada [zak’] disesuaikan atau diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga sama-sama bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi yang mengasimilasikan disebut asimilasi regresif.
3) Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan [h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h], [n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.
Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /t/. Asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena perubahan dari [k’] ke [g’] dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan asimilasi pada pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke [k] (pada holan ho > [holakko]), serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada suan hon > [su-atton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon dari fo-nem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. Begitu juga, bunyi [h] merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan apiko-dental karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang diucapkan apiko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apiko-alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem yang yang sama.
Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis ‘saya makan ikan’, kata vis – yang biasa diucapkan [vis] – pada kalimat tersebut diucapkan [fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi oleh kata eet [i:t’] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar tidak bersuara. Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup dua fonem yang berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari fonem /v/, dan bu-nyi [f] meru[akan alofon dari fonem /f/.
B. Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda.
Perhatikan contoh berikut!
1. Kata bahasa Indonesia belajar [bəlajar] berasal dari penggabungan prefiks ber [bər] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan menjadi berajar [bərajar] Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang pertama diperbedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi [bəlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r] merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/, maka disebut disimilasi fonemis.
2.Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta sajjana [sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi [j] yang pertama diubah menjadi bunyi [r]: [sajjana] > [sarjana]. Ka-rena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka perubahan itu disebut disimilasi fonemis.
3.Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis peng-ulangan bentuk dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk dasar [sayUr] mengalami perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr]. Karena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan alofon dari fonem /j/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka perubahan itu juga disebut disimilasi fonemis.
C. Modifikasi Vokal
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, maka perlu disendirikan.
Perhatkan contoh berikut!
1.Kata balik diucapkan [balī?], vokal i diucapkan [ī] rendah. Tetapi ketika mendapatkan sufiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [ī] berubah menjadi [i] tinggi: [balikan]. Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya. Pada kata balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah [?], sedangkan pada kata balikan, bunyi yang mengikutinya adalah dorso-velar [k]. Karena perubahan dari [ī] ke [I] masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis.
Sebagai cacatan, perubahan itu bisa juga karena perbedaan struktur silaba. Pada bunyi [ī], ia sebagai nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik), sedangkan pada bunyi [i], ia sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li pada ba-li-kan).
2.Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt’]. Bunyi vokal [O] pada silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua adalah [O], maka pada silaba pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Pola pikir ini juga bisa diterapkan ada bunyi [o] pada kata-kata kelompok satu. (Coba jelaskan!)
Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke vokal yang lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi oleh para linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara itu, perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh dari vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini biasa disebut harmoni vokal atau keselarasan vokal.
Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal yang disebut ablaut (Ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal). Perubahan vokal jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur morfologis. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing [sīŋ] ‘menyanyi’ menjadi sang [sєŋ], sung [sαŋ]. Perubahan vokal jenis ini juga bisa disebut modifikasi internal.
D. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan. Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan minimal [baraŋ] ‘barang’– [paraŋ] ‘parang’ bisa disimpulkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada fonem /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda antara /b/ dan /p/ bisa batal – setidak-tidaknya bermasalah – karena dijumpai bunyi yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan [p’]: [adap] dan [səbap’], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap dan usap: [atap’] dan [usap’]. Me-ngapa terjadi demikian? Karena konsonan hambat-letup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika dinetralisasilkan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi yang biasa terdapat dalam fonem /p/.
Kalau begitu, apakah kedua bunyi itu tidak merupakan alofon dari fonem yang sama? Tidak! Sebab, dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa terdapat fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau toh ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang anggotanya adalah fonem /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, nama arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi distribusinya).
E. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus berlangsung.
Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’ dengan struktur lengkapnya. Misalnya:
- shall not disingkat shan’t
- will not disingkat won’t-
- is not disingkat isn’t
- are not disingkat aren’t
- it is atau it has disingkat it’s.
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop.
1.Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya: tetapi menjadi tapi, peperment menjadi permen, upawasa menjadi puasa
2.Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misalnya: president menjadi presiden, pelangit menjadi pelangi, mpulaut menjadi pulau
3.Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya: baharu menjadi baru, dahulu menjadi dulu, utpatti menjadi upeti.
F.Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya: kerikil
menjadi kelikir, jalur menjadi lajur, brantas menjadi bantras
Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya: lemari berasal dari bahasa Portugis almari, Rabu berasal dari bahasa Arab Arba. rebab berasal dari bahasa Arab arbab.
G.Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenya-ringan sehingga tetap dalam satu silaba.
Kata anggota [aŋgota] diucapkan [aŋgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa. Contoh lain:
- teladan [təladan] menjadi tauladan [tauladan]=> vokal [ə] menjadi [au]
- topan [tOpan] menjadi taufan[taufan] => vokal [O] menjadi [au]
H. Monoftongisasi
Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi vokal atau vokal rangkap (difftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap pemudahan pengucapan terhadap bunyi-bunyi diftong.
Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pətai] diucapkan [pəte]. Perubahan ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisannya pun disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:
- kalau [kalau] menjadi [kalo]
- danau [danau] menjadi [dano]
- satai [satai] menjadi [sate]
- damai [damai] menjadi [dame]
I.Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu di antara dua konsoanan untuk memperlancar ucapan. Bunyi yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia, penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya:
- putra menjadi putera
- putri menjadi puteri
- bahtra menjadi bahtera
- srigala menjadi serigala
- sloka menjadi seloka
Akibat penambahan [ə] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba. Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ə] menjadi silaba baru dengan puncak silaba pada [ə]. Jadi, [tra] menjadi [tə+ra], [tri] menjadi [tə+ri], [sri] menjadi [sə+ri], dan [slo] menjadi [sə+lo].
Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis, dan paragog.
1.Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata. Misalnya:
- mpu menjadi empu
- mas menjadi emas
- tik menjadi ketik
2.Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada tengah kata. Misalnya:
- kapak menjadi kampak
- sajak menjadi sanjak
- upama menjadi umpama
3.Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata. Misalnya:
- adi menjadi adik
- hulubala menjadi hulubalang
- ina menjadi inang
Bahan Pendalaman:
1.Pada asimilasi progresif, dari mana diketahui bahwa bunyi yang diasimilasi-kan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan? Berikan alasan yang jelas beserta contohnya!
2.Peristiwa asimilasi bisa dilihat secara sinkronis dan diakronis. Apa maksudnya? Berikan ilustrasi yang jelas!
3.Mengapa peristiwa labialisasi dan palatalisasi tidak dimasukkan dalam asimilasi ?
4.Berikan penjelasan tentang netralisasi atas fonem /g/ dan /k/ dalam bahasa Indonesia disertai contoh!
5.Secara sinkronis, dari mana bisa diketahui bahwa suatu bunyi itu termasuk peristiwa zeroisasi? Buktikan!
6.Peristiwa monoftongisasi dilatarbelakangi oleh sikap pemudahan ucapan atas bunyi-bunyi diftong. Pada peristiwa diftongisasi, apa yang melatarbelakanginya? Jelaskan dan berikan contoh!
7.Berikan komentar atas kasus-kasus berikut!
(a) auto mobil hanya disebut mobil
(b) bagai ini disebut begini
(c) al salam menjadi assalam
(d) mahardhika menjadi merdeka
(e) in-port menjadi impor
November Rain
Hujan adalah bentuk cinta, rasa rindu, kasih sayang, dan ekspresi langit pada bumi.
Translate
Minggu, 15 Desember 2013
PERSPEKTIF DAN KRITERIA PENILAIAN KRITIK
PERSPEKTIF DAN KRITERIA PENILAIAN KRITIK
Ringkasan Materi Kelompok 7
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra
yang dibina oleh Drs. HeriSuwignyo, M.Pd
Oleh:
Fara Ayu Maulida 130211614091
Khoirun Nisa 130211601342
Nita Normasari 130211616490
Salsabila 130211614087
Yuslim Aulia Hayati 130211614082
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Oktober 2013
Perspetif dan Kriteris Penilaian Kritik
Pada dasarnya ada tiga perspektif penilaian yang penting dalam kritik sastra, yakni perspektif penilaian Relativisme, Absolutisme, dan Perspektifisme.
a) Penilaian Relativisme
Penilaian Relativisme adalah penilaian yang dilakukan berdasarkan konteks tempat dan zaman diterbitkannya suatu karya sastra. Asumsi dasar penilaian Relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat yag lain yang berbeda. Penilaian Realitivisme memang mengandalkan transferabilitas suatu karya sastra. Dalam Pradopo (2011: 53), paham relativisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya, atau yang sudah tidak dikehendaki penilaian karya sastra, tentulah tak dapat kita terima bila kita hendak menilai karya sastra secara objektif menurut metode literer.
b) Penilaian Absolutisme
Penilaian Absolutisme adalah paham yang menilai hanya didasarkan pham-paham, aliran-aliran politik, dan pertimbangan-pertimbangan di luar karya sastra, tentulah tak dapat kita terima karena menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat karya sastra, tidak berdasar metode literer. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suwignyo (2013: 63), paham penilaian ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer. Disamping itu juga, para kritikus modern memakai hokum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern. Rene wellek menunjukkan contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra tidak berdasar pada hakikat sastra ini, melainkan menurut paham, politik, atau cita-cita, antara lain kaum Humanis baru.
c) Penilaian Perspektivisme.
Paham penilaian Perspektivisme ini menilai karya sastra dari segi perspektif, dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa-masa berikutnya. Dari pengertian tersebut, penilaian perspektivisme mengakui adanya satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Anggapan dasarnya bahwa karya sastra bersifat abadi dan historisis sekaligus. Ringkasnya, perubahan-perubahan penialaian terhadap suatu karya tertentu dapat disebabkan oleh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi, social, religious, politik serta ideology kesenian. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, Paham penilaian Perspektivismelah yang cocok untuk dipilih dalam menilai karya sastra, karena penilaiannya berdasarkan pada hakikat fungsi sastra dengan menggunakan metode literer.
Daftar Rujukan
Atar, Semi. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Pradopo, Rachmad Djoko. 2011. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suwignyo, Heri. 2013. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya. Malang: A3 (Asih Asah Asuh)
Ringkasan Materi Kelompok 7
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra
yang dibina oleh Drs. HeriSuwignyo, M.Pd
Oleh:
Fara Ayu Maulida 130211614091
Khoirun Nisa 130211601342
Nita Normasari 130211616490
Salsabila 130211614087
Yuslim Aulia Hayati 130211614082
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Oktober 2013
Perspetif dan Kriteris Penilaian Kritik
Pada dasarnya ada tiga perspektif penilaian yang penting dalam kritik sastra, yakni perspektif penilaian Relativisme, Absolutisme, dan Perspektifisme.
a) Penilaian Relativisme
Penilaian Relativisme adalah penilaian yang dilakukan berdasarkan konteks tempat dan zaman diterbitkannya suatu karya sastra. Asumsi dasar penilaian Relativisme adalah karya sastra yang dianggap bernilai oleh suatu masyarakat pada suatu tempat dan zaman tertentu maka karya sastra tersebut haruslah dianggap bernilai pula pada zaman dan tempat yag lain yang berbeda. Penilaian Realitivisme memang mengandalkan transferabilitas suatu karya sastra. Dalam Pradopo (2011: 53), paham relativisme yang menilai karya sastra hanya berdasarkan waktu terbitnya, atau yang sudah tidak dikehendaki penilaian karya sastra, tentulah tak dapat kita terima bila kita hendak menilai karya sastra secara objektif menurut metode literer.
b) Penilaian Absolutisme
Penilaian Absolutisme adalah paham yang menilai hanya didasarkan pham-paham, aliran-aliran politik, dan pertimbangan-pertimbangan di luar karya sastra, tentulah tak dapat kita terima karena menilai karya sastra tidak didasarkan pada hakikat karya sastra, tidak berdasar metode literer. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suwignyo (2013: 63), paham penilaian ini menilai karya sastra berdasarkan paham-paham atau aliran-aliran nonliterer. Disamping itu juga, para kritikus modern memakai hokum-hukum drama klasik sebagai standar penilaian drama-drama modern. Rene wellek menunjukkan contoh golongan-golongan yang menilai karya sastra tidak berdasar pada hakikat sastra ini, melainkan menurut paham, politik, atau cita-cita, antara lain kaum Humanis baru.
c) Penilaian Perspektivisme.
Paham penilaian Perspektivisme ini menilai karya sastra dari segi perspektif, dari berbagai sudut pandang, yaitu dengan jalan menunjukkan nilai karya sastra pada waktu terbitnya dan nilai-nilai karya sastra itu pada masa-masa berikutnya. Dari pengertian tersebut, penilaian perspektivisme mengakui adanya satu karya sastra yang dapat dibandingkan sepanjang masa, berkembang, berubah, penuh kemungkinan. Anggapan dasarnya bahwa karya sastra bersifat abadi dan historisis sekaligus. Ringkasnya, perubahan-perubahan penialaian terhadap suatu karya tertentu dapat disebabkan oleh zaman yang berbeda, keyakinan pribadi, social, religious, politik serta ideology kesenian. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, Paham penilaian Perspektivismelah yang cocok untuk dipilih dalam menilai karya sastra, karena penilaiannya berdasarkan pada hakikat fungsi sastra dengan menggunakan metode literer.
Daftar Rujukan
Atar, Semi. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Pradopo, Rachmad Djoko. 2011. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suwignyo, Heri. 2013. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya. Malang: A3 (Asih Asah Asuh)
KRITIK SOSIOLOGIS
KRITIK SOSIOLOGIS
Ringkasan Materi Kelompok 5
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra
yang dibina oleh Drs. HeriSuwignyo, M.Pd
Oleh:
Fara Ayu Maulida 130211614091
Khoirun Nisa 130211601342
Nita Normasari 130211616490
Salsabila 130211614087
Yuslim Aulia Hayati 130211614082
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Oktober 2013
Model Kritik Sosiologis
1. Teori Kritik Sosiologis
Sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang social dan proses social. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang (Semi, 1984: 52). Kritik sosiologis terhadap karya sastra dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya yang mencerminkan zaman. Kedua, pendekatan yang melihat penderitaan masyarakat terhadap karya sastra. Dan Ketiga, pendekatang yang melihat pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra (Yunus:1986:3: dalam Suwignyo, 2013: 167). Dari ketiga pendekatan diatas, pendekatan pertamalah yang lebih banyak bertolak pada karya sastra.
Kritik sosiologis juga berfaedah dalam mengembangkan pengetahuan kita dalam memberikan keterangan tentang, misalnya, mengapa beberapa kelemahan menjadi ciri khas dalam suatu periode tertentu, mengapa suatu kurun waktu tertentu memperlihatkan adanya kesamaan, atau mengapa karya-karya Hamka memperlihatkan suatu suasana yang memancing keharuan? Atau mengapa Hamka cenderung untuk membunuh para tokoh ceritanya? Dengan bantuan sosiologi sastra hal itu bisa dipahami secara lebih mendalam.
Dapat dikatakan bahwa sastra merupakan produk budaya dan produk “masyarakat” yang memiliki keterikatan yang erat dengan kehidupan social. Sastra “menyajikan kehidupan” yang sebagian besar terdiri dari kenyataan social (Wellek dan Warren, 1989: 109). Kritik Sosiologis berfungsi deskriptif, dengan deskripsi masyarakat yang melingkupi satu karya sastra, sering member bantuan yang besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan. Objek analisis sosiologis salah satunya berupa lembaga-lembaga social dalam hubungan dengan segi-segi kehidupan beserta perubahannya. Pendekatan sosiologis yang paling banyak dilakukan saat menaruh perhatian yang besar terhadap aspek documenter sastra.
Landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai struktur social. Pendekatan sosiologis sastra juga suatu asumsi seperti yang dikemukakan oleh Hardjana (1985: 70), bahwa tata kemasyarakatan bersifat normative, maksudnya mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus dipatuhi sehingga hubungan antarmanusia ditentukan atau paling tidak dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian, pandangan, sikap, dan nilai-nilai, termasuk kebutuhan pengarang, ditimba dari tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku.
2. Kritik Realisme Sosialis
Metode ini bertolak belakang dari pendekatan mimesis bahwa sastra sebagai hasil seni yang lain, merupakan pemcerminan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan pemaduan antara imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari kenyataan. Pendekatan ini lama sekali memengaruhi kehidupan kritk sastra di Eropa. Dalam kritik sastra Indonesia, pernah berkembang kritik sastra Lekra pada permulaan tahun 50-an sampai tahun 1965-an. Lekra didirikan pada tanggal 17 agustus 1950, enam bulan setelah diumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berpandangan Realisme Humanisme. Paha realism sosialis ini memang pernah diterapkan pada beberapa karya sastra Indonesia., malahan diantaranya sampai berbau anti muslim, seperti dalam karya Utuy Tatang Sontani Si Kempeng dan dalam karya Pramudya Ananta Toer: Si Manis Bergigi Emas, yang menggambarkan para kyai dan haji sebgai tokoh penghisap rakyat. Realisme sosialis ini kemudian banyak menimbulkan perdebatan para kritikus di Negara-negara non komunis.
3. Kritik Realisme Humanis
Realism humans itu, menurut penjelasan manifesto kebudayaan, erupakan suatu perjuangan manusia dan kemanusiaan. Humanisme adalah berjuangan budu nurani universal dengan memerdekakan manusia dari setiap belenggu, ia menolak sikap absolute dari satu golongan yang memandang hanya ideologinyalah yang benar. Pernyataan itu bertentang dengan Lekra, karena itu mereka tentang habis-ahbisan. Kemudian era baru di Indonesia terbuka lebar. Lewat majalah sastra Horison bermunculan karya-karya baru dengan segala macam gaya dan segala macan eksperimen, dan dengan segala kemungkinan tema. Sastra diletakkan pada proporsinya yang tepat dan dijadikan sebagai media ekspresi.
Daftar Rujukan
Atar, Semi. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Pradopo, Rachmad Djoko. 2011. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suwignyo, Heri. 2013. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya. Malang: A3 (Asih Asah Asuh)
Ringkasan Materi Kelompok 5
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra
yang dibina oleh Drs. HeriSuwignyo, M.Pd
Oleh:
Fara Ayu Maulida 130211614091
Khoirun Nisa 130211601342
Nita Normasari 130211616490
Salsabila 130211614087
Yuslim Aulia Hayati 130211614082
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Oktober 2013
Model Kritik Sosiologis
1. Teori Kritik Sosiologis
Sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan tentang social dan proses social. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang (Semi, 1984: 52). Kritik sosiologis terhadap karya sastra dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya yang mencerminkan zaman. Kedua, pendekatan yang melihat penderitaan masyarakat terhadap karya sastra. Dan Ketiga, pendekatang yang melihat pengaruh sosio-budaya terhadap penciptaan karya sastra (Yunus:1986:3: dalam Suwignyo, 2013: 167). Dari ketiga pendekatan diatas, pendekatan pertamalah yang lebih banyak bertolak pada karya sastra.
Kritik sosiologis juga berfaedah dalam mengembangkan pengetahuan kita dalam memberikan keterangan tentang, misalnya, mengapa beberapa kelemahan menjadi ciri khas dalam suatu periode tertentu, mengapa suatu kurun waktu tertentu memperlihatkan adanya kesamaan, atau mengapa karya-karya Hamka memperlihatkan suatu suasana yang memancing keharuan? Atau mengapa Hamka cenderung untuk membunuh para tokoh ceritanya? Dengan bantuan sosiologi sastra hal itu bisa dipahami secara lebih mendalam.
Dapat dikatakan bahwa sastra merupakan produk budaya dan produk “masyarakat” yang memiliki keterikatan yang erat dengan kehidupan social. Sastra “menyajikan kehidupan” yang sebagian besar terdiri dari kenyataan social (Wellek dan Warren, 1989: 109). Kritik Sosiologis berfungsi deskriptif, dengan deskripsi masyarakat yang melingkupi satu karya sastra, sering member bantuan yang besar terhadap keberhasilan suatu kritik sastra yang dilakukan. Objek analisis sosiologis salah satunya berupa lembaga-lembaga social dalam hubungan dengan segi-segi kehidupan beserta perubahannya. Pendekatan sosiologis yang paling banyak dilakukan saat menaruh perhatian yang besar terhadap aspek documenter sastra.
Landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai struktur social. Pendekatan sosiologis sastra juga suatu asumsi seperti yang dikemukakan oleh Hardjana (1985: 70), bahwa tata kemasyarakatan bersifat normative, maksudnya mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tidak mau harus dipatuhi sehingga hubungan antarmanusia ditentukan atau paling tidak dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian, pandangan, sikap, dan nilai-nilai, termasuk kebutuhan pengarang, ditimba dari tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku.
2. Kritik Realisme Sosialis
Metode ini bertolak belakang dari pendekatan mimesis bahwa sastra sebagai hasil seni yang lain, merupakan pemcerminan atau representasi kehidupan nyata. Sastra merupakan pemaduan antara imajinasi pengarang atau hasil imajinasi pengarang yang bertolak dari kenyataan. Pendekatan ini lama sekali memengaruhi kehidupan kritk sastra di Eropa. Dalam kritik sastra Indonesia, pernah berkembang kritik sastra Lekra pada permulaan tahun 50-an sampai tahun 1965-an. Lekra didirikan pada tanggal 17 agustus 1950, enam bulan setelah diumumkan “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang berpandangan Realisme Humanisme. Paha realism sosialis ini memang pernah diterapkan pada beberapa karya sastra Indonesia., malahan diantaranya sampai berbau anti muslim, seperti dalam karya Utuy Tatang Sontani Si Kempeng dan dalam karya Pramudya Ananta Toer: Si Manis Bergigi Emas, yang menggambarkan para kyai dan haji sebgai tokoh penghisap rakyat. Realisme sosialis ini kemudian banyak menimbulkan perdebatan para kritikus di Negara-negara non komunis.
3. Kritik Realisme Humanis
Realism humans itu, menurut penjelasan manifesto kebudayaan, erupakan suatu perjuangan manusia dan kemanusiaan. Humanisme adalah berjuangan budu nurani universal dengan memerdekakan manusia dari setiap belenggu, ia menolak sikap absolute dari satu golongan yang memandang hanya ideologinyalah yang benar. Pernyataan itu bertentang dengan Lekra, karena itu mereka tentang habis-ahbisan. Kemudian era baru di Indonesia terbuka lebar. Lewat majalah sastra Horison bermunculan karya-karya baru dengan segala macam gaya dan segala macan eksperimen, dan dengan segala kemungkinan tema. Sastra diletakkan pada proporsinya yang tepat dan dijadikan sebagai media ekspresi.
Daftar Rujukan
Atar, Semi. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Pradopo, Rachmad Djoko. 2011. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suwignyo, Heri. 2013. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya. Malang: A3 (Asih Asah Asuh)
KRITIK MODEL ABRAHAM
KRITIK MODEL ABRAHAM
Ringkasan Materi Kelompok 6
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra
yang dibina oleh Drs. HeriSuwignyo, M.Pd
Oleh:
Fara Ayu Maulida 130211614091
Khoirun Nisa 130211601342
Nita Normasari 130211616490
Salsabila 130211614087
Yuslim Aulia Hayati 130211614082
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Oktober 2013
Kritik Model Abrams
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams membagi kritik sastra ke dalam empat tipe, yaitu Kritik Mimetik atau Mimesis, Kritik Pragmatik, Kritik Objektif, dan Kritik Ekspresif. Pendekatan itu masing-masing menonjolkan: (1) peranan penulis karya sastra, sebagai penciptanya(ekspresif), (2) peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat(pragmatik), (3) aspek referensial, acuan karya sastra, dengan nyata(mimetik), dan (4) karya sastra sebagai struktur yang otonom, dengan koherensi intern(objektif).
A. Kritik Mimetik
Menurut Pradopo (2011: 26) dalam bukunya yang berjudul ‘Prinsip-prinsip Kritik Sastra’, bahwa dalam teori Abrams, Kritik Mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia atau keidupan manusia, dan kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran “penggambaran”, atau yang hendaknya digambarkan. Modus kritik ini pertama kali kelihatan dalam kritik Plato dan Aristoteles, merupakan sifat khusus teori-teori modern realism kritik sastra. Atas dasar model yang sederhana, dalam menghadapi karya sastra secara ilmiah pada prinsipnya dapat dimanfaatkan pendekatan yang secara langsung dapat dijabarkan dari situasi karya sastra secara menyeluruh, dengan aspek atau fungsinya yang terkemuka.
Istilah mimetik atau mimesis berasal dari Yunani yang artinya peneladanan, peniruan, atau pembayangan. Konsep tersebut dikemukakan oleh Plato, kemudian dikemukakan juga oleh Aristoteles. Dalam Suwignyo (2013: 42), Plato berpendapat bahwa seni hanyalah tiruan alam (imitasi) yang nilainya jauh lebih rendah dari kenyataan dan ide. Sedangkan menurut Aristoteles, kenampakan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain, dalam setiap objek yang kita amati dalam kenyataan terkandung idenya dan tidak dapat dilepaskan oleh objeknya itu. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif.
B. Kritik Pragmatik
Pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat member kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Dengan begitu pendekatan ini menggabungkan antara unsur pelipur lara dengan unsur didaktis. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan dengan relativitas konsep keindahan dan konsep nilai didaktis. Dalam pendekatan ini juga dibicarakan kritik semiotik dan kritik resepsi estetik. Kritik semiotik, kritik ini bertolak dari anggapan bahwa sastra merupakan salah satu sistem tanda yang bermakna dengan memanfaatkan medium bahasa, sedangkan bahasa juga merupakan sistem tanda atau lambang yang bermakna.
C. Kritik Objektif
Pendekatan ini membatasai diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain pendekatan ini memandang dan menelaah dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Kepaduan yang harmonis antar isi dan bentuk merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu. Pendekatan objektif bisa disebut sebagai pndekatan struktural, dari segi tertentu membawa hasil yang gilang-gemilang, usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari konsep metode dan teknik yang sebenarnya berada di luar jangkauan sebagai ahli(kritikus sastra).
D. Kritik Ekspresif
Pendekatan ini menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi kuran kebehasilan. Menurut Pradopo (2011: 27), kritik ini mendefinisikan puisi atau karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya. Kritik ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokannya dengan visium keadaan pikirannya. Teori ekspresif kelihatan pada kritik aliran romantik di Indonesia terutama Armin Pane.
Daftar Rujukan
Atar, Semi. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Pradopo, Rachmad Djoko. 2011. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suwignyo, Heri. 2013. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya. Malang: A3 (Asih Asah Asuh)
Ringkasan Materi Kelompok 6
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra
yang dibina oleh Drs. HeriSuwignyo, M.Pd
Oleh:
Fara Ayu Maulida 130211614091
Khoirun Nisa 130211601342
Nita Normasari 130211616490
Salsabila 130211614087
Yuslim Aulia Hayati 130211614082
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Oktober 2013
Kritik Model Abrams
Berdasarkan pendekatannya terhadap karya sastra, Abrams membagi kritik sastra ke dalam empat tipe, yaitu Kritik Mimetik atau Mimesis, Kritik Pragmatik, Kritik Objektif, dan Kritik Ekspresif. Pendekatan itu masing-masing menonjolkan: (1) peranan penulis karya sastra, sebagai penciptanya(ekspresif), (2) peranan pembaca sebagai penyambut dan penghayat(pragmatik), (3) aspek referensial, acuan karya sastra, dengan nyata(mimetik), dan (4) karya sastra sebagai struktur yang otonom, dengan koherensi intern(objektif).
A. Kritik Mimetik
Menurut Pradopo (2011: 26) dalam bukunya yang berjudul ‘Prinsip-prinsip Kritik Sastra’, bahwa dalam teori Abrams, Kritik Mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia atau keidupan manusia, dan kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran “penggambaran”, atau yang hendaknya digambarkan. Modus kritik ini pertama kali kelihatan dalam kritik Plato dan Aristoteles, merupakan sifat khusus teori-teori modern realism kritik sastra. Atas dasar model yang sederhana, dalam menghadapi karya sastra secara ilmiah pada prinsipnya dapat dimanfaatkan pendekatan yang secara langsung dapat dijabarkan dari situasi karya sastra secara menyeluruh, dengan aspek atau fungsinya yang terkemuka.
Istilah mimetik atau mimesis berasal dari Yunani yang artinya peneladanan, peniruan, atau pembayangan. Konsep tersebut dikemukakan oleh Plato, kemudian dikemukakan juga oleh Aristoteles. Dalam Suwignyo (2013: 42), Plato berpendapat bahwa seni hanyalah tiruan alam (imitasi) yang nilainya jauh lebih rendah dari kenyataan dan ide. Sedangkan menurut Aristoteles, kenampakan dan ide-ide tidak lepas yang satu dari yang lain, dalam setiap objek yang kita amati dalam kenyataan terkandung idenya dan tidak dapat dilepaskan oleh objeknya itu. Bagi Aristoteles mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif.
B. Kritik Pragmatik
Pendekatan ini menganut prinsip bahwa sastra yang baik adalah sastra yang dapat member kesenangan dan faedah bagi pembacanya. Dengan begitu pendekatan ini menggabungkan antara unsur pelipur lara dengan unsur didaktis. Pemanfaatan pendekatan ini harus berhadapan dengan relativitas konsep keindahan dan konsep nilai didaktis. Dalam pendekatan ini juga dibicarakan kritik semiotik dan kritik resepsi estetik. Kritik semiotik, kritik ini bertolak dari anggapan bahwa sastra merupakan salah satu sistem tanda yang bermakna dengan memanfaatkan medium bahasa, sedangkan bahasa juga merupakan sistem tanda atau lambang yang bermakna.
C. Kritik Objektif
Pendekatan ini membatasai diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini kritikus memandang karya sastra sebagai suatu kebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahasa sebagai alatnya. Dengan kata lain pendekatan ini memandang dan menelaah dari segi intrinsik yang membangun suatu karya sastra, yaitu tema, alur, latar, penokohan, dan gaya bahasa. Kepaduan yang harmonis antar isi dan bentuk merupakan kemungkinan kuat untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu. Pendekatan objektif bisa disebut sebagai pndekatan struktural, dari segi tertentu membawa hasil yang gilang-gemilang, usaha untuk memahami dan mengupas karya sastra atas dasar strukturnya memaksa peneliti sastra untuk membebaskan diri dari konsep metode dan teknik yang sebenarnya berada di luar jangkauan sebagai ahli(kritikus sastra).
D. Kritik Ekspresif
Pendekatan ini menitikberatkan perhatian kepada upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Kemampuan pengarang menyampaikan pikiran yang agung dan emosi yang kuat menjadi kuran kebehasilan. Menurut Pradopo (2011: 27), kritik ini mendefinisikan puisi atau karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya. Kritik ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokannya dengan visium keadaan pikirannya. Teori ekspresif kelihatan pada kritik aliran romantik di Indonesia terutama Armin Pane.
Daftar Rujukan
Atar, Semi. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa
Pradopo, Rachmad Djoko. 2011. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Suwignyo, Heri. 2013. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori dan Penerapannya. Malang: A3 (Asih Asah Asuh)
promosi objek wisata
Nama / NIM : Yuslim Aulia Hayati / 130211614082
Tema promosi : Promosi objek wisata
Objek Wisata : Simpang Lima Gumul, Kediri
Kelebihan objek wisata
• Arsitektur gedung yang indah mirip dengan bangunan di Perancis, L’arch de Treomp, membuat anda seperti berada di Perancis.
• SLG bersebelahan dengan Water Boom “ Gumul Paradays Island”, jadi setelah melihat-lihat SLG, bisa mandi dan bermain air di GPI (Gumul Paradays Island)
• Tempat tersebut mudah diakses dengan kendaraan apapun
• Untuk masuk ke objek wisata tidak perlu membayar biaya masuk, hanya membayar biaya parkir kendaraan saja
• SLG akan terlihat jauh lebih indah saat malan hari. Banyak event-event menarik yang sering diselenggarakan di SLG, contohnya: Festival Penari, Goes Bareng, Jalan Santai, Konser Musik, dan event-event lainnya.
Cara menuju objek wisata
Transportasi umum yang bisa digunakan mobil angkutan umum, ojek motor, bus umum, sepeda, kendaraan pribadi, bahkan berjalan kaki. Setelah memarkir kendaraan, untuk ke dalam SLG harus melewati lorong bawah tanah, lalu menaiki tangga kemudian sampai ke pos dan halaman SLG. Selain itu, anda juga bisa berkeliling SLG mengunakan Becak hias dan Delman yang ada disekitar tempat tersebut.
Tema promosi : Promosi objek wisata
Objek Wisata : Simpang Lima Gumul, Kediri
Kelebihan objek wisata
• Arsitektur gedung yang indah mirip dengan bangunan di Perancis, L’arch de Treomp, membuat anda seperti berada di Perancis.
• SLG bersebelahan dengan Water Boom “ Gumul Paradays Island”, jadi setelah melihat-lihat SLG, bisa mandi dan bermain air di GPI (Gumul Paradays Island)
• Tempat tersebut mudah diakses dengan kendaraan apapun
• Untuk masuk ke objek wisata tidak perlu membayar biaya masuk, hanya membayar biaya parkir kendaraan saja
• SLG akan terlihat jauh lebih indah saat malan hari. Banyak event-event menarik yang sering diselenggarakan di SLG, contohnya: Festival Penari, Goes Bareng, Jalan Santai, Konser Musik, dan event-event lainnya.
Cara menuju objek wisata
Transportasi umum yang bisa digunakan mobil angkutan umum, ojek motor, bus umum, sepeda, kendaraan pribadi, bahkan berjalan kaki. Setelah memarkir kendaraan, untuk ke dalam SLG harus melewati lorong bawah tanah, lalu menaiki tangga kemudian sampai ke pos dan halaman SLG. Selain itu, anda juga bisa berkeliling SLG mengunakan Becak hias dan Delman yang ada disekitar tempat tersebut.
logila. estetika, etika makalah
[Enter Post Title Here]
LOGIKA, ETIKA DAN ESTETIKA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pengantar Filsafat Ilmu
yang dibina oleh Bapak Mudjianto
oleh
Arin Fitriani (130211601383)
Fara Ayu Maulida (130211614091)
Kartika Rahmi (130211616489)
Pungky Septiriani (130211601372)
Risa Yanuarti Sholihah (130211601348)
Wanudyoning Tyas (130211601390)
Yeni Setiyawati (130211601373)
Wakhid Irfan Aprianto (100254300500)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA & DAERAH
OKTOBER 2013
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia .Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran (Al-Kindi, 801-873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya.Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan. Termasuk di dalamnya mengenai logika, etika dan estetika.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan logika?
1. Apa yang dimaksud dengan etika?
2. Apa yang dimaksud dengan estetika?
3. Bagaimana peran logika, etika dan estetika dalam ilmu?
4. Apa yang mempengaruhi logika, etika, dan estetika?
5. Bagaimana hubungan antara logika, etika, dan estetika dengan ilmu?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengertian logika, etika dan estetika, hal-hal yang mempengaruhinya, dan peran ketiganya dalam ilmu. Serta mengetahui hubungan antara logika, etika, dan estetika dengan ilmu.
PEMBAHASAN
2.1 Logika (Supriyanto, 2013)
Dilihat dari segi etimologi, perkataan logika berasal dari bahasa Yunani logike (kata sifat), yang berhubungan dengan kata benda logo yang artinya pikiran atau kata yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Berpikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan.
Logika secara terminologi memiliki arti: ilmu yang memberikan aturan-aturan berpikir valid (shahih), artinya ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti supaya dapat berpikir valid (menurut aturan/sahih).
2.1.1 Jenis Kebenaran dalam Logika
a. Macam-macam Kebenaran
Terdapat banyak pandangan mengenai teori kebenaran dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu, di antaranya adalah kebenaran empiris, kebenaran rasional, kebenaran ilmiah, kebenaran intuitif,dan kebenaran relegius.
1) Kebenaran empiris.
Empiris adalah suatu keadaan yang bergantung bukti atau konsekuensi yang teramati oleh indera. Data empiris yang dihasilkan dari percobaan atau pengamatan (Wikipedia).Jadi, empiris itu artinya kelihatan jelas, ada pembuktiannya, bias kita dengar, sentuh, berdasarkan pada hal-hal yang kelihatan dan sudah diuji kebenarannya. Merupakan hal yang dapat diinderawi, hal yang dirasakan oleh manusia dengan inderanya. Secara lebih jelas dengan contoh berikut ini:
Api itu panas
Es itu dingin.
Daun itu hijau.
2) Kebenaran Rasional.
Rasional berarti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal. Rasionalisme adalah pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri, atau bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara membandingkan ide dengan ide Basman (2009: 30).
Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga kemampuannya tersebut dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu yang pada akhirnya sampai kepada kebenaran, yaitu kebenaran rasional. Sebagai contoh berikut:
Ketika TV kita tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipikir bahwa dan dipastikan kalau ada komponen di dalam TV yang rusak atau sudah perlu diganti. Pemikiran tentang ada sesuatu yang tidak beres ini merupakan suatu hal rasional yang timbul dari fenomena TV dan dapat dipastikan pikiran rasional ini benar.
3) Kebenaran Ilmiah.
Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar ilmu.
Oleh karena itu, kebenaran ilmiah sering disebut sebagai kebenaran nisbi atau relatif. Sifat kebenaran ini sesuai dengan sifat keilmuan itu sendiri yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan hasil penelitian, karena suatu teori pada masa tertentu bisa jadi merupakan kebenaran, tetapi pada masa berikutnya bisa jadi sebuah kesalahan besar. Contoh kebenaran ilmiah:
Bumi itu bulat dan tidak datar.
Air mendidih pada 100°C
4) Kebenaran Intuitif.
Intuitif merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya sesuatu bentuk penghayatan langsung (intuitif) Bergson dalam Muslih (2004: 68). Pendekatan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi bersifat personal dan tidak bias diramalkan. Bahwa intuisi yang dialami oleh seseorang bersifat khas, sulit atau tidak bisa dijelaskan, dan tidak bisa dipelajari atau ditiru oleh orang lain. Bahkan seseorang yang pernah memperoleh intuisi sulit atau bahkan tidak bias mengulang pengalaman serupa, misalnya, seorang yang sedang menghadapi suatu masalah secara tiba-tiba menemukan jalan pemecahan dari masalah yang dihadapi atau secara tiba-tiba seseorang memperoleh informasi mengenai peristiwa yang akan terjadi.
5) Kebenaran Religius.
Kebenaran religius ialah kebenaran Ilahi, kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hokum alam dan kehidupan saja, ia juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai.
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia. Contoh kebenaran religius:
Tentang madu.
Alkitab atau Alquran.
Logika adalah cabang filsafat yang telah dikembangkan sejak Aristoteles. Logika digolongkan kebenaran dalam teori Pengetahuan. Logika menampilkan norma-norma berpikir benar untuk membentuk pengetahuan yang benar. Oleh sebab itu, faedah logika bermanfaat juga dalam bidang lainnya, yakni :
Logika menyatakan, menjelaskan dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan.
Logika menambah daya berpikir abstrak dan melatih serta mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual
Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan autoriti (Praja, Juhaya. 2008)
2.2 Macam Logika (Supriyanto, 2013)
a. Logika kodratiah, yaitu proses berpikir yang menggunakan perpaduan intuisi, perasaan, dan ketrampilan serta akal budinya untuk menghasilkan pengetahuan yang kreatif. Logika kodratiah juga disebut logika tradisional.
b. Logika ilmiah, berkaitan dengan logika kodratiah yang memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Akibatnya, logika ilmiah dapatlah akal budi bekerja lebih cepat, lebih teliti, lebih mudah, dan lebih aman.
2.2.1 Asas Pemikiran dalam Logika
a. Kata dan Tanda
Kegiatan akal budi yang pertama adalah menangkap apa adanya. Berpikir dengan akal budi harus dinyatakan agar diterima dan dikomunikasikan dengan orang lain. Untuk itu diperlukan tanda lahiriah berupa kata atau tanda. Jadi, kata dan tanda merupakan objek logika agar hasil kegiatan berpikir seseorang bisa dimengerti orang lain
b. Term dan Kalimat
Unsur kata yang membentuk keputusan atau kalimat dapat berfungsi sebagai subjek, predikat dan kata penghubung. Kata yang mempunyai fungsi dalam kalimat ini disebut term. Term dibedakan menjadi dua, yaitu term kategorimatis (telah memiliki makna tertentu tanpa bantuan kata lain) dan term sinkategorimatis (akan memiliki makna jika digabungkan dengan term yang lain)
2.2.2 Hukum Logika
Ada 4 hukum dasar dalam logika, yaitu menurutAristoteles, 384-322 SM; John Stuart Mill,1806-1873; G.W. Leibniz, 1646-1716.
a. Hukum Identitas atau hukum persamaan: menegaskan bahwa sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Hukum ini adalah hukum persamaan yang artinya bahwa jika a=b dan b=c, maka a=c
b. Hukum kontradiksi atau hukum perbedaan menyatakan bahwa sesuatu itu terjadi pada saat yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu. Jika a tidak sama dengan b, dan b tidak sama dengan c maka tidak mungkin a dan c terjadi bersamaan pada waktu yang sama
c. Hukum tiada jalan tengah yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui maka adanya kejadian c pasti karena sebab lain.
d. Hukum cukup alasan yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu harus berdasarkan alasan
2.3 Etika (Praja, Juhaya. 2008)
2.3.1 Tugas Etika
Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari segi baik dan buruknya tingkah laku tersebut.
2.2.2. Sifat Dasar Etika
Etika memiliki sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis. Etika dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara apa yang sah dan apa yang tidak sah; membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan demikian, etika member kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.
2.2.3 Objek Etika
Objek penyelidikan etika adalah pernyataan-pernyataan moral yang merupakan perwujudan dari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan dalam bidang moral.
2.2.4 Unsur atau Materi Etika (Soemargono: 2004)
a. Nilai
Nilai atau value adalah keinginan yang relatif permanen yang tampaknya mempunyai sifat-sifat baik seperti damai atau kehendak baik, bersusila. Dalam kebudayaan, nilai adalah wujud idiil budaya (unsur budaya adalah nilai, norma, hukum, dan peraturan).
Nilai menjawab apa? Mengapa memberikan obat tersebut?mengapa anda melakukan tindakan itu? Pertanyaan tersebut dapat diteruskan sampai anda mencapai titik, sampai anda tidak menginginkan sesuatu jawaban yang lain. Norma adalah hal apa yang harus dilakukan. Hukum dan peraturan adalah sistem yang mengatur hubungan hak dan kewajiban.
b. Hak
Hak atau right adalah kewenangan yang memberikan ruang kepada seseorang untuk melakukan tindakan. Hak adalah pernyataan yang membedakan seseorang mengambil tindakan tertentu. Hal disini dapat diartikan sebagai wujud kewenangan otonominatau kebebasannya. Hak jarang bersifat absolut, karena orang setuju bahwa hak individu juga dibatasi hak orang lain.
c. Kewajiban
Hak berhubungan dengan kewajiban. Kalau sesorang mempunyai hak, orang lain mempunyai kewajiban untuk menghormatinya. Kewajiban adalah keharusan untuk mengambil langkah-langkah tertentu atau mematuhi hukum. Misalnya, sesorang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan bermutu, tetapi memiliki kewajiban untuk membayar jasa pelayanan, mematuhi prosedur pelayanan.
Apa yang kita ketahui tentang kewajiban? Tidak ada definisi yang begitu jelas tentang kewajiban. Bahkan jika didefinisikan secara kasar kewajiban adalah tindakan yang harus dilakukan, apa yang saya harus lakukan? Untuk mabuk saya wajib meminum-minuman yang beralkohol, orang itu miskin saya wajib membantunya, dan lain-lain. Fransz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa ada tiga kemungkinan orang memenuhi kewajibannya: Pertama karena Ia ingin mendapat keuntungan atas kewajiban yang dilakukannya misalnya ada imbalan kalau bisa mencarikan pacar baru buat anda, tamu wajib lapor untuk lebih dari 24 jam. Ini untuk kepentingan keamanan, namun tidak melarang menginap. Kedua dikarenakan Ia secara spontan terdorong hatinya, melihat sesuatu yang membuat dia wajib membantu. Misalnya anda melihat pengemis yang ebrumur kira-kira 7 tahun di jalanan. Lalu anda mengatakan dalam hati “aduh..kasihan..” maka anda membuka kaca jendela mobil dan memberikan recehan kepadanya. Ketiga karena Ia memang merasa wajib, oleh karena itu ia melakukan kewajibannya. Dengan kata lain kewajiban demi kewajiban.
d. Peraturan Moral (moral rules)
Adalah peraturan menyangkut tingkah laku yang seringkali menjadi kebiasaan sebagai nilai moral. Peraturan moral membimbing kita melewati situasi di mana terjadinya benturan kepentingan. Contoh moral di bidang kesehatan: First come first serve dalam antrian, life saving first dalam UGD atau Emergency first. Sebuah moralitas yang murni atau dengan kata lain yaitu imperatif kategoris. Imperatif katogoris adalah keharusan yang tidak bersyarat. Melakukan tindakan moral bukan karena ada syarat, jika dia miskin saya harus membantu, bukan itu! Ini bukan jika mata (if not them). Tapi harus do it! Membantu orang? Harus. Ini prinsip umumnya.
Hubungan ini ada karena kita saling membutuhkan untuk saling mendukung dan mencapai sasaran bersama. Dari hubungan pasien dokter, manajer dan karyawan, hubungan dipandang sebuah aspek kehidupan moral. Kita secara sadar dan konsisten memutuskan bagaimana mempertahankan dan memeliharanya. Keputusan ini mencerminkan nilai-nilai kita dan perhatian kita pada etika.
2.2.5 Metode Etika
Ada empat macam pendekatan dalam menilai suatu pendapat moral, yaitu:
a. Pendekatan empiris deskriptif bersifat menyelidiki. Penyelidikan tesrsebut, seperti : apa pendapat umum yang berlaku di Indonesia dan sejak kapan pendapat itu berlaku. Penyelidikan semacam ini diandaikan dalam etika khusus, yaitu yang mempersoalkan norma-norma moral tertentu, tetapi belum termausk etika sendiri, melainkan merupakan tugas ilmu empiris yang bersangkutan, seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain
b. Pendekatan fenomologis memperlihatkan bagaimana kiranya kesadaran seseorang yang sependapat bahwa ia berkewajiban untuk pernikahannya. Pendekatan fenomologis berdekatan dengan pendekatan psikologis, tetapi juga berbeda daripadanya oleh karena lain daripada psikologi kesadaran moral, tidak berusaha merumuskan hokum-hukum yang berlaku umum.
c. Pendekatan normatif. Melalui pendekatan ini dipersoalkan apakah suatu norma moral yang diterima umum atau dalam masyarakat tertentu memang tepat ataukah sebetulnya tidak berlaku atau malah harus ditolak.
d. Pendekatan metaetika.
Pendekatan ini berupa analisis bahasa moral. Metaetika berusaha untuk mencegah kekeliruan dan kekaburan dalam penyelidikan fenomologis dan normative dengan cara mempersoalkan arti tepat dari istilah-istilah moral dan mengatur pernyataan-pernyataan moral menurut macamnya serta mempersoalkan bagaimana suatu pernyataan moral dapat dibenarkan
2.2.6 Jenis-Jenis Etika
a. Etika normatif
Dalam uraian di bawah ini dibicarakan jawaban-jawaban pokok yang diajukan atas pertanyaan : menurut norma-norma manakah kita seharusnya bertindak? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, maka dikemukakan beberapa teori, yakni : teori deontologis, teori teleologis, teori egoisme etis. Teori-teori ini dalam filsafat Islam dikenal dengan teori al-husn wa al-qubh, yakni teori tentang penilaian baik dan buruk.
Teori deontologis (kata ini berasal dari bahasa Yunani, deon = yang diwajibkan) mengatakan bahwa betul-salahnya sesuatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu, melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib.
Teori teleologis ( katatelos dalam bahasa Yunani berarti tujuan) mengatakan bahwa betul-tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya; kalau akibat-akibat dari tindakan itu baik, maka boleh dilakukan, bahkan wajib untuk dilakukan.
Teori Egoisme etis merupakan kelanjutan dari teori teleologis. Teori ini banyak menyoroti tentang akibat dari perbuatan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, bukan kepentingan orang banyak.
Untuk lebih mendalami teori egoisme etis, berikut bidang-bidang bahasan teorinya :
1) Hedonisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang dinilai baik itu ialah sesuatu yang dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia.
2) Eudemonisme
Eudemonisme mengajarkan bahwa segala tindakan manusia ada tujuannya. Ada tujuan yang dicari demi suatu tujuan selanjutnya dan ada tujuan yang dicari demi dirinya sendiri.
Eudemonisme mengemukakan suatu kaidah dasar etikanya yang berbunyi: Bertindaklah engkau sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan.
b. Etika Utilitarisme
Utilitarisme adalah teori teleologis universalis. Dikatakan teleologis karena utilitarisme menilai betul-salahnya tindakan manusia ditinjau dari segi manfaat akibatnya.
Sifat utilitarisme adalah sifat universalis karena yang jadi penilaian norma-norma bukanlah akibat-akibat baik bagi dirinya sendiri, melainkan juga baik seluruh manusia.
Dilihat dari jenisnya utilitarisme dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu.
Utilitarisme Tindakan
Utilitarisme tindakan mengajarkan bahwa manusia mesti bertindak sedemikian rupa sehingga setiap tindakannya itu menghasilkan suatu kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruk.
Utilitarisme Peraturan
Utilitarisme peraturan memiliki kaidah utama ajarannya sebagai berikut, “bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penetapannya menghasilkan kelebihan-kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat buruk”
c. Etika Teonom
Teori ini terdiri dari dua kata: theos yang berarti Allah dan nomos yang berarti hukum.
Etika Teonom Murni
Etika ini mengajarkan bahwa tindakan dikatakan benar bila sesuai dengan kehendak Allah, dan dikatakan salah apabila tidak sesuai, suatu tindakan wajib dikerjakan jika diperintahkan Allah.
Teori Hukum Kodrat
Teori ini mengatakan bahwa baik dan buruk ditentukan oleh Allah seakan-akan secara sewenang-wenang. Sesuatu dikatakan benar jika sesuai dengan kodrat manusia. Inti ajaran dari teori ini mengatakan,
“Bertindaklah sesuai dengan kodratmu sebagai manusia, yaitu sempurnakanlah kemampuan-kemampuanmu, dan dengan ini engkau sekaligus akan mencapai kebahagiaan yang sebenarnya serta memenuhi kehendak Allah.”
2.3 Estetika
2.3.1 Pengertian (Djelantik. 2004)
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas tentang keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah an terhadaap sentiment dan rasa. Estetika cabang yg sangat dekat dengan filosofi seni.
Ilmu estetika adalah sesuatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan. Misalnya, apa arti indah? Apakah yang menyebabkan barang yang satu dirasakan indah dan yang lainnya tidak? Apa yang menyebabkan rasa indah yang dirasakan satu orang berlainan dengan yang dirasakan oleh orang lain? Apakah indah itu terletak pada barang atau benda yang indah itu sendiri ataukah hanya pada persepsi kita saja?
Pertanyaan-pertanyaan yang demikian telah merangsang manusia untuk berfikir dan selanjutnya mengadakan penyelidikan dan penelitian. Makin hari makin banyak orang yang terdorong untuk memikirkan hal-hal yang mengenai keindahan semakin banyak muncul pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban.
Ilmu estetika sebenarnya baru bisa berkembang lebih maju setelah terjadi perkembangan pesat di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 dalam segala bidang ilmu pengetahuan (science). Ilmu estetika dapat memperoleh manfaat dari penggunaan hasil-hasil penyelidikan dari perkembangan ilmu yang ada.
Beberapa pengertian estetika menurut beberapa ahli :
estetika adalah segala sesuatau dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni. (Kattsoff, Element of Phylosophy, 1953)
Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan keburukan (Jerome Stolnitz, Encyclopedia of Phylosophy, vol I).
Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis (John Hosper, dalam Estetika Terapan, 1989)
Pandangan-pandangan mengenai estetika diatas setiap waktu mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran konsep estetik setiap zaman. Nilai indah dan tidak indah lebih cenderung untuk diterapkan orang kepada soal seni. Estetika berusaha untuk menemukan nilai indah secara umum. (Sachari, Agus. 2002)
Estetika merupakan suatu teori yang meliputi:
a. Penyelidikan mengenai yang indah
b. Penyelidikan mengenai prinsip prinsip yang mendasari seni
c. Pengelaman yang bertalian dengan seni (masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan atas seni)
Seni menggambarkan dua macam hal:
Seni tidak semata mata berusaha menyatakan keindahan, keindahan emang mungkin merupakan salah satu hal yang hendak dinyatakan oleh seni
Agaknya ada jumlah prinsip tertentu yang apabila diterapkan secara berhasil, akan menghasilkan karya seni
Estetika juga berusaha memperoleh jawaban atas pertanyaan apakah yang menyebabkan lahirnya karya seni? Hasil hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip prinsip yang dapat dikelompokan sebagai rekayasa pola bentuk dan sebagainya. Dalam arti yang sedemikian ini sudah mendekati menjadi ilmu pengetahuan tersendiri, yang tidak dapat dimasukan dalam bidang filsafat. Sebuah filosofi yang mempelajari nilai nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilai.
2.3.2 Aspek-Aspek Estetika
a. Aspek Ilmiah
Dalam aspek ilmiahnya ilmu estetika, penelitiannya menggunakan cara-cara kerja (metodologi) yang sama dengan ilmu pengetahuan lain pada umumnya, yang terdiri dari:
• Observasi (pengamatan)
• Eksperimen (percobaan)
• Analisis (pembahasan)
Dalam kegiatan ini ilmu estetika dapat mencari bantuan beberapa ilmu pengetahuan lain, seperti ilmu fisika, ilmu matematika, ilmu faal, biologi, psikologi, psikiatri dan lain sebagainya.
b. Aspek Filosofis
Dalam aspek filosofinya ilmu estetika memakai metodologi yang agak berlainan. Di samping observasi dan analisa melakukan komparasi (perbandingan), analogi (menonjolkan unsur persamaan), asosiasi (pengkaitan), sintesis (penggabungan), dan konklusi (penyimpulan).
Aspek ilmiah dari ilmu estetika dapat dikatakan obyektif karena memakai ukuran yang nyata, jelas bagi semua pengamat, terlepas dari pendirian filosofi mereka. Pengukuran taraf keindahan akan membawa hasil yang dapat dibandingkan antara benda indah yang satu dengan lainnya seolah-olah memakai alat ukur atau instrument untuk menentukan taraf keindahan. Bagian ini dalam ilmu estetuka disebut estetika instrumental.
Aspek filosofi ilmu estetika dapat juga dinamakan aspek subyektif, karena langsung berkaitan dengan, kepribadian, pendirian, dan falsafah dari pengamat yang bersangkutan yang menggunakan norma-norma filosofis dari estetika ini juga disebut normatif. Karena pendekatan masalah estetika dengan cara yang filosofis sering didahului dan dibarengi dengan renungan atau kontemplasi, maka aspek dari filosofis dari ilmu estetika disebut juga estetika kontempratif.
Dilihat dari materi yang dipersoalkan filsafat estetika kontemplatif terdiri atas dua bagian, yakni Filsafat Keindahan dan Filsafat Kesenian.
2.3.3 Ruang Lingkup Estetika
Keindahan meliputi keindahan alam dan keindahan buatan manusia. Keindahan uatan manusia pada umumnya kita sebut kesenian. Dengan demikian, kesenian dapat dikatakan merupakan salh satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan. Agar dapat membahasnya lebih mendalam, kita hendaknya mengetahui unsur-unsur keindahan yang bagaimana yang bisa kita temukan, karena keindahan itu terdiri dari komponen-komponen yang masing-masing mempunyai cirri-ciri dan sifat-sifat yang menentukan taraf dari kehadiran keindahan itu. Taraf kehadiran itu akan menentukan mutu keseniannya.
Tahap pertama, yaitu menafsirkan keindahan itu sebagai suatu masalah yang praktis sampai pada perenungan dan pemikiran tentang kesenian dan keindahan itu sendiri. Tahap kedua, mencangkup filsafat keindahan dan flsafat kesenian. Pada tahap ini akan kita jumpai beberapa macam permasalahan mengenai teori kesenian dan keindahan, seperti yang difahami oleh beberapa filsuf dari zaman dahulu sampai sekarang.
2.3.4 Unsur-Unsur Estetika
a. Wujud
Wujud yang terlihat oleh mata (visual) maupun wujud dapat didengar oleh telinga (akustik) bisa diteliti dengan analisa, dibahas komponen-komponen penyusunnyadan dari segi struktur atau susunan wujud itu. Hingga disini kita sampai pada pembagian mendasar atas pengertian (konse) wujud itu, yakni semua wujud terdiri dari:
• Bentuk (form) atau unsur yang mendasar
• Susunan atau struktur
b. Bobot
Isi atau bobot dari benda atau peristiwa kesenian bukan hanya yang dilihat belaka tetapi juga meliputi apa yang bisa dirasakan atau dihyati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Bobot kesenian mempunyai tiga aspek:
• Suasana (mood)
• Gagasan (idea)
• Ibarat atau pesan (message)
c. Penampilan
Penampilan mengacu pada pengertian bagaimana cara kesenian itu disajikankepada penikmatnya. Untuk penampilan kesenian ada tiga unsur yang berperan:
• Bakat (tallent)
• Keterampilan (skill)
• Sarana atau media
2.3.5 Keindahan Sebagai Rasa Nikmat Yang di Objektivasikan.
Pandangan yang dianut oleh Croce bersifat subjektif, karena hakekat seni diletakkan pada intuisi serta perasaan seseorang. Santayana, dalam bukunya yang berjudul The Sence Of Beauty, juga memandang keindahan dan seni sebagai hal yang berhubungan secara intrinsik dengan manusianya. Namun dengan cara yang lain.
Keindahan merupakan jenis hal yang memang berlainan dengan ekstensi suatu objek material. Kiranya, tidak mungkin orang membayangkan suatu objek yang tidak mempunyai ekstensi, tetapi dengan mudah kita dapat membayangkan suatu objek yang tidak indah.
Sebenarnya, keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Contohnya, kita lihat ‘Reclining Figure’. Ketika orang melihatnya, tampak sejumlah sifat melekat padanya, yaitu warnanya, luasnya, bangunannya, kepadatannya, dan lain-lain. Kemudian, dapat pula orang menambahkan satu sifat lagi, yaitu keindahannya. (Katsoff, 2004:)
2.3.6 Keindahan Bersangkutan Dengan Rasa Nikmat.
Sesunggguhnya, banyak rasa nikmat yang bukan merupakan bagian dari citra kita mengenai suatu objek, dan untuk membedakan antara rasa nikmat yang merupakan bagian dari citra, maka digunakan kata ‘keindahan’. Menurut santanaya, “keindahan merupakan rasa nikmat yang dianggap sebagai kualitas barang sesuatu”. Jika suatu objek tidak menimbulkan rasa nikmat pada siapapun, maka tidak mungkin objek tersebut dikatakan indah. (Katsoff, 2004:)
2.3.7 Estetika Barat (Sachari, 2002:)
Menurut plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Sekalipun ia menyatakan bahwa harmonis, proporsi, dan simetris adalah unsur yang membentuk keindahan.
Aristoteles, keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan kerapihan, keterukuran, dan keagungan keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam.
Kant memulai studi ilmiah psikologis tentang keindahan. Menurut pendapatnya, akal itu memiliki indra ketiga atas pikiran dan kemauan. Yaitu indra rasa. Indra rasa memiliki satu kekhususan yaitu kesenangan estetika dengan tidak mengandung kepentingan tidak seperti menilai manisnya rasa gula, dimana kita mempunyai hubungan kepentingan dengan rasa manis itu.
2.3.8 Estetika Timur (Sachari, 2002:)
Ajaran Zen hakikatnya adalah suatu pancaran langsung diluar kitab suci, tidak bergantung pada kata-kata dan tulisan langsung menuju ke hati, ke dalam hakekat sesuatu berupa :
a. Abstraksi dan simbolik
b. Ilmu dan kebijaksanaan
c. Kesatuan dengan alam
d. Harmoni
2.3.9 Manfaat Mempelajari Estetika
a. Memperdalam pengertian tentang rasa indah pada umumnya dan tentang kesenian pada khususnya.
b. Memperluas pengetahuan dan menyempurnakan pengertian tentang unsur-unsur obyektif yang membangkitkan rasa indah pada manusia dan faktor-faktoe obyektif yang berpengaruh kepada pembangkit rasa indah tersebut.
c. Memperluas pengetehuan dan penyempurnaan pengertian tentang unsur-unsur subyektif yang berpengaruh atas kemampuan manusia menikmati keindahan.
d. Memperkokoh kepada rasa cinta kepada kesenian dan kebudayaan bangsa pada umumnya serta mempertajam kemampuan untuk mengapresiasi kesenian dan kebudayaan bangsa lain dan dengan demikian mempererat hubungan antar bangsa.
e. Memupuk kehalusan rasa dalam manusia pada umumnya.
f. Memperdalam pengertian keterkaitan wujud berkesenian dengan tata kehidupan, kebudayaan, perekonomian, masyarakat yang bersangkutan.
g. Memantapkan kemampuan penilaian karya seni dan dengan jalan itu secara tidak langsung mengembangkan apresiasi seni didalam masyarakat pada umumnya.
h. Memantapkan kewaspadaan atas pengaruh-pengaruh yang negative yang dapat merusak mutu kesenian dan berbahaya terhadap kelestarian aspek-aspek dan nilai-nilai tertentu dari kebudayaan kita.
2.4 Peran Logika, Etika, dan Estetika dalam Ilmu dan Kehidupan
Ajaran filsafat dipratikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya logika, mengajarkan kepada kita agar lebih dapat berpikir rasional, teratur dan sistematik sehingga mudah mengambil kesimpulan yang benar. Kesimpulan tidak akan salah bila kita mendasarkan diri kepada aturan-aturan yang benar dan telah ditentukan secara pasti. Menurut Aristoteles (dalam Drajat, 2005:10 ) logika sangat penting dalam proses pengambilan hukum.
Etika, memelajari tingkah laku dan perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk, termasuk di dalamnya mengajarkan moral, kesusilaan, sopan santun, maupun norma yang baik.
Estetika mengajarkan kegunaan nilai seni yang sangat berharga, seni melalui keindahan tampil dan berperan dalam berbagai kegiatan manusia, termasuk menimbulkan daya tarik karena keindahan (musik, nyanyian, pakaian, berbahasa, lukisan, dan bunga-bunga di halaman rumah) (Setidjo, 2010 :78). Selain itu, estetika berperan dalam mendukung pembudayaan, peningkatan proses pembelajaran, dan lain-lain.
2.5 Hubungan Antara Logika, Etika dan Estetika
Dari ketiga definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa logika, etika dan estetika saling berhubungan erat dengan dalam pembentuka ide yang dituangkan dan dan dikelola berdasarkan logika. Dalam mempelajari ilmu-ilmu untuk mendapatkan kejelasan dan tidak ada keraguan. Landasan, logika harus diterapkan untuk dijadikan pedoman.
Yang kedua, etika dalam proses mempelajari ilmu unsur etika sangat mendukung. Sebab etika berhubungan langsung dengan norma dan budaya. Dalam mempelajari ilmu, kita harus memperhatikan perilaku kita. Jangan sampai ilmu yang kita miliki merugikan, bahkan merusak norma dan kebudayaan yang kita miliki. Jika hal itu terjadi, maka sanksi sosial harus kita terima.
Dan yang terakhir adalah nilai estetika (keindahan). Ilmu akan lebih bermanfaat, jika bisa disebut ilmu itu indah, maksudnya ilmu dapat diterima dari beberapa unsur keindahan diri kita sendiri, manusia lain, dan alam serta lingkungan sekitar.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Logika memiliki arti : ilmu yang memberikan aturan-aturan berpikir valid (shahih), artinya ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti supaya dapat berpikir valid (menurut aturan/sahih).
• Jenis kebenaran dalam logika ada 2, yaitu:
a) logika formal atau logika tradisional disebut silogisme dalam arti membicarakan ketepatan kesimpulan
b) logika material membuktikan (menguji isi keputusan itu. Kebenaran bentuk dibicarakan dalam logika formal, sedangkan kebenaran materi dibicarakan dalam logika material.
• Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari segi baik dan burunkya tingkah laku tersebut.
• Etika memiliki sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis. Etika dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara apa yang sah dan apa yang tidak sah; membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.
• Unsur atau Materi Etika ada 4, yaitu: nilai, hak, kewajiban, dan peraturan moral
• Ilmu estetika adalah sesuatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan.
• Ilmu estetika mengandung dua aspek : aspek ilmiah dan aspek filosofis
• Aspek ilmiah
• Manfaat Mempelajari Estetika :
1. Memperdalam pengertian tentang rasa indah pada umumnya dan tentang kesenian pada khususnya.
2. Memperluas pengetahuan dan menyempurnakan pengertian tentang unsur-unsur obyektif yang membangkitkan rasa indah pada manusia dan factor-faktoe obyektif yang berpengaruh kepada pembangkit rasa indah tersebut.
3. Memperluas pengetehuan dan penyempurnaan pengertian tentang unsur-unsur subyektif yang berpengaruh atas kemampuan manusia menikmati keindahan.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki untuk memaksimalkan hasil makalah. Selain itu, perlu adanya masukan-masukan dan saran dari pihak yang bersangkutan.
DAFTAR RUJUKAN
Djelantik. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Media Abadi.
Drajat, Amroeni. 2005. Suhrawardi Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LKiS
Katsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Alih bahasa: Soejono Soemargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya
Praja, Juhaya. 2008. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media.
Praja, Juhaya. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Estetika. Jakarta: Prenata Media.
Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung: ITB
Setidjo, Pandji. 2010. Pancasila Sebagai Filsafat, Dasar Negara dan Ideologi. Jakarta:
Grasindo
Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
LOGIKA, ETIKA DAN ESTETIKA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Pengantar Filsafat Ilmu
yang dibina oleh Bapak Mudjianto
oleh
Arin Fitriani (130211601383)
Fara Ayu Maulida (130211614091)
Kartika Rahmi (130211616489)
Pungky Septiriani (130211601372)
Risa Yanuarti Sholihah (130211601348)
Wanudyoning Tyas (130211601390)
Yeni Setiyawati (130211601373)
Wakhid Irfan Aprianto (100254300500)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA & DAERAH
OKTOBER 2013
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia .Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran (Al-Kindi, 801-873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya.Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan. Termasuk di dalamnya mengenai logika, etika dan estetika.
1.2 Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan logika?
1. Apa yang dimaksud dengan etika?
2. Apa yang dimaksud dengan estetika?
3. Bagaimana peran logika, etika dan estetika dalam ilmu?
4. Apa yang mempengaruhi logika, etika, dan estetika?
5. Bagaimana hubungan antara logika, etika, dan estetika dengan ilmu?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengertian logika, etika dan estetika, hal-hal yang mempengaruhinya, dan peran ketiganya dalam ilmu. Serta mengetahui hubungan antara logika, etika, dan estetika dengan ilmu.
PEMBAHASAN
2.1 Logika (Supriyanto, 2013)
Dilihat dari segi etimologi, perkataan logika berasal dari bahasa Yunani logike (kata sifat), yang berhubungan dengan kata benda logo yang artinya pikiran atau kata yang merupakan pernyataan dalam bahasa. Berpikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan.
Logika secara terminologi memiliki arti: ilmu yang memberikan aturan-aturan berpikir valid (shahih), artinya ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti supaya dapat berpikir valid (menurut aturan/sahih).
2.1.1 Jenis Kebenaran dalam Logika
a. Macam-macam Kebenaran
Terdapat banyak pandangan mengenai teori kebenaran dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu, di antaranya adalah kebenaran empiris, kebenaran rasional, kebenaran ilmiah, kebenaran intuitif,dan kebenaran relegius.
1) Kebenaran empiris.
Empiris adalah suatu keadaan yang bergantung bukti atau konsekuensi yang teramati oleh indera. Data empiris yang dihasilkan dari percobaan atau pengamatan (Wikipedia).Jadi, empiris itu artinya kelihatan jelas, ada pembuktiannya, bias kita dengar, sentuh, berdasarkan pada hal-hal yang kelihatan dan sudah diuji kebenarannya. Merupakan hal yang dapat diinderawi, hal yang dirasakan oleh manusia dengan inderanya. Secara lebih jelas dengan contoh berikut ini:
Api itu panas
Es itu dingin.
Daun itu hijau.
2) Kebenaran Rasional.
Rasional berarti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang sehat; cocok dengan akal. Rasionalisme adalah pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri, atau bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara membandingkan ide dengan ide Basman (2009: 30).
Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir, sehingga kemampuannya tersebut dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu yang pada akhirnya sampai kepada kebenaran, yaitu kebenaran rasional. Sebagai contoh berikut:
Ketika TV kita tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipikir bahwa dan dipastikan kalau ada komponen di dalam TV yang rusak atau sudah perlu diganti. Pemikiran tentang ada sesuatu yang tidak beres ini merupakan suatu hal rasional yang timbul dari fenomena TV dan dapat dipastikan pikiran rasional ini benar.
3) Kebenaran Ilmiah.
Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar ilmu.
Oleh karena itu, kebenaran ilmiah sering disebut sebagai kebenaran nisbi atau relatif. Sifat kebenaran ini sesuai dengan sifat keilmuan itu sendiri yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan hasil penelitian, karena suatu teori pada masa tertentu bisa jadi merupakan kebenaran, tetapi pada masa berikutnya bisa jadi sebuah kesalahan besar. Contoh kebenaran ilmiah:
Bumi itu bulat dan tidak datar.
Air mendidih pada 100°C
4) Kebenaran Intuitif.
Intuitif merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya sesuatu bentuk penghayatan langsung (intuitif) Bergson dalam Muslih (2004: 68). Pendekatan ini merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi bersifat personal dan tidak bias diramalkan. Bahwa intuisi yang dialami oleh seseorang bersifat khas, sulit atau tidak bisa dijelaskan, dan tidak bisa dipelajari atau ditiru oleh orang lain. Bahkan seseorang yang pernah memperoleh intuisi sulit atau bahkan tidak bias mengulang pengalaman serupa, misalnya, seorang yang sedang menghadapi suatu masalah secara tiba-tiba menemukan jalan pemecahan dari masalah yang dihadapi atau secara tiba-tiba seseorang memperoleh informasi mengenai peristiwa yang akan terjadi.
5) Kebenaran Religius.
Kebenaran religius ialah kebenaran Ilahi, kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Kebenaran ini disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani yang ditentukan oleh hokum alam dan kehidupan saja, ia juga makhluk rohaniah sekaligus, pendukung nilai.
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia. Contoh kebenaran religius:
Tentang madu.
Alkitab atau Alquran.
Logika adalah cabang filsafat yang telah dikembangkan sejak Aristoteles. Logika digolongkan kebenaran dalam teori Pengetahuan. Logika menampilkan norma-norma berpikir benar untuk membentuk pengetahuan yang benar. Oleh sebab itu, faedah logika bermanfaat juga dalam bidang lainnya, yakni :
Logika menyatakan, menjelaskan dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan.
Logika menambah daya berpikir abstrak dan melatih serta mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual
Logika mencegah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan autoriti (Praja, Juhaya. 2008)
2.2 Macam Logika (Supriyanto, 2013)
a. Logika kodratiah, yaitu proses berpikir yang menggunakan perpaduan intuisi, perasaan, dan ketrampilan serta akal budinya untuk menghasilkan pengetahuan yang kreatif. Logika kodratiah juga disebut logika tradisional.
b. Logika ilmiah, berkaitan dengan logika kodratiah yang memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Akibatnya, logika ilmiah dapatlah akal budi bekerja lebih cepat, lebih teliti, lebih mudah, dan lebih aman.
2.2.1 Asas Pemikiran dalam Logika
a. Kata dan Tanda
Kegiatan akal budi yang pertama adalah menangkap apa adanya. Berpikir dengan akal budi harus dinyatakan agar diterima dan dikomunikasikan dengan orang lain. Untuk itu diperlukan tanda lahiriah berupa kata atau tanda. Jadi, kata dan tanda merupakan objek logika agar hasil kegiatan berpikir seseorang bisa dimengerti orang lain
b. Term dan Kalimat
Unsur kata yang membentuk keputusan atau kalimat dapat berfungsi sebagai subjek, predikat dan kata penghubung. Kata yang mempunyai fungsi dalam kalimat ini disebut term. Term dibedakan menjadi dua, yaitu term kategorimatis (telah memiliki makna tertentu tanpa bantuan kata lain) dan term sinkategorimatis (akan memiliki makna jika digabungkan dengan term yang lain)
2.2.2 Hukum Logika
Ada 4 hukum dasar dalam logika, yaitu menurutAristoteles, 384-322 SM; John Stuart Mill,1806-1873; G.W. Leibniz, 1646-1716.
a. Hukum Identitas atau hukum persamaan: menegaskan bahwa sesuatu itu adalah sama dengan dirinya sendiri. Hukum ini adalah hukum persamaan yang artinya bahwa jika a=b dan b=c, maka a=c
b. Hukum kontradiksi atau hukum perbedaan menyatakan bahwa sesuatu itu terjadi pada saat yang sama tidak dapat sekaligus memiliki sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu. Jika a tidak sama dengan b, dan b tidak sama dengan c maka tidak mungkin a dan c terjadi bersamaan pada waktu yang sama
c. Hukum tiada jalan tengah yang mengungkapkan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki sifat tertentu dan tidak ada kemungkinan lain. Jika a diketahui dan b diketahui maka adanya kejadian c pasti karena sebab lain.
d. Hukum cukup alasan yang menjelaskan bahwa jika terjadi perubahan pada sesuatu, perubahan itu harus berdasarkan alasan
2.3 Etika (Praja, Juhaya. 2008)
2.3.1 Tugas Etika
Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari segi baik dan buruknya tingkah laku tersebut.
2.2.2. Sifat Dasar Etika
Etika memiliki sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis. Etika dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara apa yang sah dan apa yang tidak sah; membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan demikian, etika member kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.
2.2.3 Objek Etika
Objek penyelidikan etika adalah pernyataan-pernyataan moral yang merupakan perwujudan dari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan dalam bidang moral.
2.2.4 Unsur atau Materi Etika (Soemargono: 2004)
a. Nilai
Nilai atau value adalah keinginan yang relatif permanen yang tampaknya mempunyai sifat-sifat baik seperti damai atau kehendak baik, bersusila. Dalam kebudayaan, nilai adalah wujud idiil budaya (unsur budaya adalah nilai, norma, hukum, dan peraturan).
Nilai menjawab apa? Mengapa memberikan obat tersebut?mengapa anda melakukan tindakan itu? Pertanyaan tersebut dapat diteruskan sampai anda mencapai titik, sampai anda tidak menginginkan sesuatu jawaban yang lain. Norma adalah hal apa yang harus dilakukan. Hukum dan peraturan adalah sistem yang mengatur hubungan hak dan kewajiban.
b. Hak
Hak atau right adalah kewenangan yang memberikan ruang kepada seseorang untuk melakukan tindakan. Hak adalah pernyataan yang membedakan seseorang mengambil tindakan tertentu. Hal disini dapat diartikan sebagai wujud kewenangan otonominatau kebebasannya. Hak jarang bersifat absolut, karena orang setuju bahwa hak individu juga dibatasi hak orang lain.
c. Kewajiban
Hak berhubungan dengan kewajiban. Kalau sesorang mempunyai hak, orang lain mempunyai kewajiban untuk menghormatinya. Kewajiban adalah keharusan untuk mengambil langkah-langkah tertentu atau mematuhi hukum. Misalnya, sesorang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan bermutu, tetapi memiliki kewajiban untuk membayar jasa pelayanan, mematuhi prosedur pelayanan.
Apa yang kita ketahui tentang kewajiban? Tidak ada definisi yang begitu jelas tentang kewajiban. Bahkan jika didefinisikan secara kasar kewajiban adalah tindakan yang harus dilakukan, apa yang saya harus lakukan? Untuk mabuk saya wajib meminum-minuman yang beralkohol, orang itu miskin saya wajib membantunya, dan lain-lain. Fransz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa ada tiga kemungkinan orang memenuhi kewajibannya: Pertama karena Ia ingin mendapat keuntungan atas kewajiban yang dilakukannya misalnya ada imbalan kalau bisa mencarikan pacar baru buat anda, tamu wajib lapor untuk lebih dari 24 jam. Ini untuk kepentingan keamanan, namun tidak melarang menginap. Kedua dikarenakan Ia secara spontan terdorong hatinya, melihat sesuatu yang membuat dia wajib membantu. Misalnya anda melihat pengemis yang ebrumur kira-kira 7 tahun di jalanan. Lalu anda mengatakan dalam hati “aduh..kasihan..” maka anda membuka kaca jendela mobil dan memberikan recehan kepadanya. Ketiga karena Ia memang merasa wajib, oleh karena itu ia melakukan kewajibannya. Dengan kata lain kewajiban demi kewajiban.
d. Peraturan Moral (moral rules)
Adalah peraturan menyangkut tingkah laku yang seringkali menjadi kebiasaan sebagai nilai moral. Peraturan moral membimbing kita melewati situasi di mana terjadinya benturan kepentingan. Contoh moral di bidang kesehatan: First come first serve dalam antrian, life saving first dalam UGD atau Emergency first. Sebuah moralitas yang murni atau dengan kata lain yaitu imperatif kategoris. Imperatif katogoris adalah keharusan yang tidak bersyarat. Melakukan tindakan moral bukan karena ada syarat, jika dia miskin saya harus membantu, bukan itu! Ini bukan jika mata (if not them). Tapi harus do it! Membantu orang? Harus. Ini prinsip umumnya.
Hubungan ini ada karena kita saling membutuhkan untuk saling mendukung dan mencapai sasaran bersama. Dari hubungan pasien dokter, manajer dan karyawan, hubungan dipandang sebuah aspek kehidupan moral. Kita secara sadar dan konsisten memutuskan bagaimana mempertahankan dan memeliharanya. Keputusan ini mencerminkan nilai-nilai kita dan perhatian kita pada etika.
2.2.5 Metode Etika
Ada empat macam pendekatan dalam menilai suatu pendapat moral, yaitu:
a. Pendekatan empiris deskriptif bersifat menyelidiki. Penyelidikan tesrsebut, seperti : apa pendapat umum yang berlaku di Indonesia dan sejak kapan pendapat itu berlaku. Penyelidikan semacam ini diandaikan dalam etika khusus, yaitu yang mempersoalkan norma-norma moral tertentu, tetapi belum termausk etika sendiri, melainkan merupakan tugas ilmu empiris yang bersangkutan, seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain
b. Pendekatan fenomologis memperlihatkan bagaimana kiranya kesadaran seseorang yang sependapat bahwa ia berkewajiban untuk pernikahannya. Pendekatan fenomologis berdekatan dengan pendekatan psikologis, tetapi juga berbeda daripadanya oleh karena lain daripada psikologi kesadaran moral, tidak berusaha merumuskan hokum-hukum yang berlaku umum.
c. Pendekatan normatif. Melalui pendekatan ini dipersoalkan apakah suatu norma moral yang diterima umum atau dalam masyarakat tertentu memang tepat ataukah sebetulnya tidak berlaku atau malah harus ditolak.
d. Pendekatan metaetika.
Pendekatan ini berupa analisis bahasa moral. Metaetika berusaha untuk mencegah kekeliruan dan kekaburan dalam penyelidikan fenomologis dan normative dengan cara mempersoalkan arti tepat dari istilah-istilah moral dan mengatur pernyataan-pernyataan moral menurut macamnya serta mempersoalkan bagaimana suatu pernyataan moral dapat dibenarkan
2.2.6 Jenis-Jenis Etika
a. Etika normatif
Dalam uraian di bawah ini dibicarakan jawaban-jawaban pokok yang diajukan atas pertanyaan : menurut norma-norma manakah kita seharusnya bertindak? Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, maka dikemukakan beberapa teori, yakni : teori deontologis, teori teleologis, teori egoisme etis. Teori-teori ini dalam filsafat Islam dikenal dengan teori al-husn wa al-qubh, yakni teori tentang penilaian baik dan buruk.
Teori deontologis (kata ini berasal dari bahasa Yunani, deon = yang diwajibkan) mengatakan bahwa betul-salahnya sesuatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu, melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib.
Teori teleologis ( katatelos dalam bahasa Yunani berarti tujuan) mengatakan bahwa betul-tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya; kalau akibat-akibat dari tindakan itu baik, maka boleh dilakukan, bahkan wajib untuk dilakukan.
Teori Egoisme etis merupakan kelanjutan dari teori teleologis. Teori ini banyak menyoroti tentang akibat dari perbuatan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, bukan kepentingan orang banyak.
Untuk lebih mendalami teori egoisme etis, berikut bidang-bidang bahasan teorinya :
1) Hedonisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang dinilai baik itu ialah sesuatu yang dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia.
2) Eudemonisme
Eudemonisme mengajarkan bahwa segala tindakan manusia ada tujuannya. Ada tujuan yang dicari demi suatu tujuan selanjutnya dan ada tujuan yang dicari demi dirinya sendiri.
Eudemonisme mengemukakan suatu kaidah dasar etikanya yang berbunyi: Bertindaklah engkau sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan.
b. Etika Utilitarisme
Utilitarisme adalah teori teleologis universalis. Dikatakan teleologis karena utilitarisme menilai betul-salahnya tindakan manusia ditinjau dari segi manfaat akibatnya.
Sifat utilitarisme adalah sifat universalis karena yang jadi penilaian norma-norma bukanlah akibat-akibat baik bagi dirinya sendiri, melainkan juga baik seluruh manusia.
Dilihat dari jenisnya utilitarisme dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu.
Utilitarisme Tindakan
Utilitarisme tindakan mengajarkan bahwa manusia mesti bertindak sedemikian rupa sehingga setiap tindakannya itu menghasilkan suatu kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat-akibat buruk.
Utilitarisme Peraturan
Utilitarisme peraturan memiliki kaidah utama ajarannya sebagai berikut, “bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penetapannya menghasilkan kelebihan-kelebihan akibat-akibat baik di dunia yang sebesar mungkin dibandingkan dengan akibat buruk”
c. Etika Teonom
Teori ini terdiri dari dua kata: theos yang berarti Allah dan nomos yang berarti hukum.
Etika Teonom Murni
Etika ini mengajarkan bahwa tindakan dikatakan benar bila sesuai dengan kehendak Allah, dan dikatakan salah apabila tidak sesuai, suatu tindakan wajib dikerjakan jika diperintahkan Allah.
Teori Hukum Kodrat
Teori ini mengatakan bahwa baik dan buruk ditentukan oleh Allah seakan-akan secara sewenang-wenang. Sesuatu dikatakan benar jika sesuai dengan kodrat manusia. Inti ajaran dari teori ini mengatakan,
“Bertindaklah sesuai dengan kodratmu sebagai manusia, yaitu sempurnakanlah kemampuan-kemampuanmu, dan dengan ini engkau sekaligus akan mencapai kebahagiaan yang sebenarnya serta memenuhi kehendak Allah.”
2.3 Estetika
2.3.1 Pengertian (Djelantik. 2004)
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas tentang keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya.pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah an terhadaap sentiment dan rasa. Estetika cabang yg sangat dekat dengan filosofi seni.
Ilmu estetika adalah sesuatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan. Misalnya, apa arti indah? Apakah yang menyebabkan barang yang satu dirasakan indah dan yang lainnya tidak? Apa yang menyebabkan rasa indah yang dirasakan satu orang berlainan dengan yang dirasakan oleh orang lain? Apakah indah itu terletak pada barang atau benda yang indah itu sendiri ataukah hanya pada persepsi kita saja?
Pertanyaan-pertanyaan yang demikian telah merangsang manusia untuk berfikir dan selanjutnya mengadakan penyelidikan dan penelitian. Makin hari makin banyak orang yang terdorong untuk memikirkan hal-hal yang mengenai keindahan semakin banyak muncul pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban.
Ilmu estetika sebenarnya baru bisa berkembang lebih maju setelah terjadi perkembangan pesat di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 dalam segala bidang ilmu pengetahuan (science). Ilmu estetika dapat memperoleh manfaat dari penggunaan hasil-hasil penyelidikan dari perkembangan ilmu yang ada.
Beberapa pengertian estetika menurut beberapa ahli :
estetika adalah segala sesuatau dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni. (Kattsoff, Element of Phylosophy, 1953)
Estetika merupakan kajian filsafat keindahan dan keburukan (Jerome Stolnitz, Encyclopedia of Phylosophy, vol I).
Estetika merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan proses penciptaan karya estetis (John Hosper, dalam Estetika Terapan, 1989)
Pandangan-pandangan mengenai estetika diatas setiap waktu mengalami pergeseran sejalan dengan pergeseran konsep estetik setiap zaman. Nilai indah dan tidak indah lebih cenderung untuk diterapkan orang kepada soal seni. Estetika berusaha untuk menemukan nilai indah secara umum. (Sachari, Agus. 2002)
Estetika merupakan suatu teori yang meliputi:
a. Penyelidikan mengenai yang indah
b. Penyelidikan mengenai prinsip prinsip yang mendasari seni
c. Pengelaman yang bertalian dengan seni (masalah penciptaan seni, penilaian terhadap seni, atau perenungan atas seni)
Seni menggambarkan dua macam hal:
Seni tidak semata mata berusaha menyatakan keindahan, keindahan emang mungkin merupakan salah satu hal yang hendak dinyatakan oleh seni
Agaknya ada jumlah prinsip tertentu yang apabila diterapkan secara berhasil, akan menghasilkan karya seni
Estetika juga berusaha memperoleh jawaban atas pertanyaan apakah yang menyebabkan lahirnya karya seni? Hasil hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip prinsip yang dapat dikelompokan sebagai rekayasa pola bentuk dan sebagainya. Dalam arti yang sedemikian ini sudah mendekati menjadi ilmu pengetahuan tersendiri, yang tidak dapat dimasukan dalam bidang filsafat. Sebuah filosofi yang mempelajari nilai nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilai.
2.3.2 Aspek-Aspek Estetika
a. Aspek Ilmiah
Dalam aspek ilmiahnya ilmu estetika, penelitiannya menggunakan cara-cara kerja (metodologi) yang sama dengan ilmu pengetahuan lain pada umumnya, yang terdiri dari:
• Observasi (pengamatan)
• Eksperimen (percobaan)
• Analisis (pembahasan)
Dalam kegiatan ini ilmu estetika dapat mencari bantuan beberapa ilmu pengetahuan lain, seperti ilmu fisika, ilmu matematika, ilmu faal, biologi, psikologi, psikiatri dan lain sebagainya.
b. Aspek Filosofis
Dalam aspek filosofinya ilmu estetika memakai metodologi yang agak berlainan. Di samping observasi dan analisa melakukan komparasi (perbandingan), analogi (menonjolkan unsur persamaan), asosiasi (pengkaitan), sintesis (penggabungan), dan konklusi (penyimpulan).
Aspek ilmiah dari ilmu estetika dapat dikatakan obyektif karena memakai ukuran yang nyata, jelas bagi semua pengamat, terlepas dari pendirian filosofi mereka. Pengukuran taraf keindahan akan membawa hasil yang dapat dibandingkan antara benda indah yang satu dengan lainnya seolah-olah memakai alat ukur atau instrument untuk menentukan taraf keindahan. Bagian ini dalam ilmu estetuka disebut estetika instrumental.
Aspek filosofi ilmu estetika dapat juga dinamakan aspek subyektif, karena langsung berkaitan dengan, kepribadian, pendirian, dan falsafah dari pengamat yang bersangkutan yang menggunakan norma-norma filosofis dari estetika ini juga disebut normatif. Karena pendekatan masalah estetika dengan cara yang filosofis sering didahului dan dibarengi dengan renungan atau kontemplasi, maka aspek dari filosofis dari ilmu estetika disebut juga estetika kontempratif.
Dilihat dari materi yang dipersoalkan filsafat estetika kontemplatif terdiri atas dua bagian, yakni Filsafat Keindahan dan Filsafat Kesenian.
2.3.3 Ruang Lingkup Estetika
Keindahan meliputi keindahan alam dan keindahan buatan manusia. Keindahan uatan manusia pada umumnya kita sebut kesenian. Dengan demikian, kesenian dapat dikatakan merupakan salh satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan. Agar dapat membahasnya lebih mendalam, kita hendaknya mengetahui unsur-unsur keindahan yang bagaimana yang bisa kita temukan, karena keindahan itu terdiri dari komponen-komponen yang masing-masing mempunyai cirri-ciri dan sifat-sifat yang menentukan taraf dari kehadiran keindahan itu. Taraf kehadiran itu akan menentukan mutu keseniannya.
Tahap pertama, yaitu menafsirkan keindahan itu sebagai suatu masalah yang praktis sampai pada perenungan dan pemikiran tentang kesenian dan keindahan itu sendiri. Tahap kedua, mencangkup filsafat keindahan dan flsafat kesenian. Pada tahap ini akan kita jumpai beberapa macam permasalahan mengenai teori kesenian dan keindahan, seperti yang difahami oleh beberapa filsuf dari zaman dahulu sampai sekarang.
2.3.4 Unsur-Unsur Estetika
a. Wujud
Wujud yang terlihat oleh mata (visual) maupun wujud dapat didengar oleh telinga (akustik) bisa diteliti dengan analisa, dibahas komponen-komponen penyusunnyadan dari segi struktur atau susunan wujud itu. Hingga disini kita sampai pada pembagian mendasar atas pengertian (konse) wujud itu, yakni semua wujud terdiri dari:
• Bentuk (form) atau unsur yang mendasar
• Susunan atau struktur
b. Bobot
Isi atau bobot dari benda atau peristiwa kesenian bukan hanya yang dilihat belaka tetapi juga meliputi apa yang bisa dirasakan atau dihyati sebagai makna dari wujud kesenian itu. Bobot kesenian mempunyai tiga aspek:
• Suasana (mood)
• Gagasan (idea)
• Ibarat atau pesan (message)
c. Penampilan
Penampilan mengacu pada pengertian bagaimana cara kesenian itu disajikankepada penikmatnya. Untuk penampilan kesenian ada tiga unsur yang berperan:
• Bakat (tallent)
• Keterampilan (skill)
• Sarana atau media
2.3.5 Keindahan Sebagai Rasa Nikmat Yang di Objektivasikan.
Pandangan yang dianut oleh Croce bersifat subjektif, karena hakekat seni diletakkan pada intuisi serta perasaan seseorang. Santayana, dalam bukunya yang berjudul The Sence Of Beauty, juga memandang keindahan dan seni sebagai hal yang berhubungan secara intrinsik dengan manusianya. Namun dengan cara yang lain.
Keindahan merupakan jenis hal yang memang berlainan dengan ekstensi suatu objek material. Kiranya, tidak mungkin orang membayangkan suatu objek yang tidak mempunyai ekstensi, tetapi dengan mudah kita dapat membayangkan suatu objek yang tidak indah.
Sebenarnya, keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Contohnya, kita lihat ‘Reclining Figure’. Ketika orang melihatnya, tampak sejumlah sifat melekat padanya, yaitu warnanya, luasnya, bangunannya, kepadatannya, dan lain-lain. Kemudian, dapat pula orang menambahkan satu sifat lagi, yaitu keindahannya. (Katsoff, 2004:)
2.3.6 Keindahan Bersangkutan Dengan Rasa Nikmat.
Sesunggguhnya, banyak rasa nikmat yang bukan merupakan bagian dari citra kita mengenai suatu objek, dan untuk membedakan antara rasa nikmat yang merupakan bagian dari citra, maka digunakan kata ‘keindahan’. Menurut santanaya, “keindahan merupakan rasa nikmat yang dianggap sebagai kualitas barang sesuatu”. Jika suatu objek tidak menimbulkan rasa nikmat pada siapapun, maka tidak mungkin objek tersebut dikatakan indah. (Katsoff, 2004:)
2.3.7 Estetika Barat (Sachari, 2002:)
Menurut plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Sekalipun ia menyatakan bahwa harmonis, proporsi, dan simetris adalah unsur yang membentuk keindahan.
Aristoteles, keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari keteraturan kerapihan, keterukuran, dan keagungan keindahan yang dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Karya seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang terjadi di alam.
Kant memulai studi ilmiah psikologis tentang keindahan. Menurut pendapatnya, akal itu memiliki indra ketiga atas pikiran dan kemauan. Yaitu indra rasa. Indra rasa memiliki satu kekhususan yaitu kesenangan estetika dengan tidak mengandung kepentingan tidak seperti menilai manisnya rasa gula, dimana kita mempunyai hubungan kepentingan dengan rasa manis itu.
2.3.8 Estetika Timur (Sachari, 2002:)
Ajaran Zen hakikatnya adalah suatu pancaran langsung diluar kitab suci, tidak bergantung pada kata-kata dan tulisan langsung menuju ke hati, ke dalam hakekat sesuatu berupa :
a. Abstraksi dan simbolik
b. Ilmu dan kebijaksanaan
c. Kesatuan dengan alam
d. Harmoni
2.3.9 Manfaat Mempelajari Estetika
a. Memperdalam pengertian tentang rasa indah pada umumnya dan tentang kesenian pada khususnya.
b. Memperluas pengetahuan dan menyempurnakan pengertian tentang unsur-unsur obyektif yang membangkitkan rasa indah pada manusia dan faktor-faktoe obyektif yang berpengaruh kepada pembangkit rasa indah tersebut.
c. Memperluas pengetehuan dan penyempurnaan pengertian tentang unsur-unsur subyektif yang berpengaruh atas kemampuan manusia menikmati keindahan.
d. Memperkokoh kepada rasa cinta kepada kesenian dan kebudayaan bangsa pada umumnya serta mempertajam kemampuan untuk mengapresiasi kesenian dan kebudayaan bangsa lain dan dengan demikian mempererat hubungan antar bangsa.
e. Memupuk kehalusan rasa dalam manusia pada umumnya.
f. Memperdalam pengertian keterkaitan wujud berkesenian dengan tata kehidupan, kebudayaan, perekonomian, masyarakat yang bersangkutan.
g. Memantapkan kemampuan penilaian karya seni dan dengan jalan itu secara tidak langsung mengembangkan apresiasi seni didalam masyarakat pada umumnya.
h. Memantapkan kewaspadaan atas pengaruh-pengaruh yang negative yang dapat merusak mutu kesenian dan berbahaya terhadap kelestarian aspek-aspek dan nilai-nilai tertentu dari kebudayaan kita.
2.4 Peran Logika, Etika, dan Estetika dalam Ilmu dan Kehidupan
Ajaran filsafat dipratikkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya logika, mengajarkan kepada kita agar lebih dapat berpikir rasional, teratur dan sistematik sehingga mudah mengambil kesimpulan yang benar. Kesimpulan tidak akan salah bila kita mendasarkan diri kepada aturan-aturan yang benar dan telah ditentukan secara pasti. Menurut Aristoteles (dalam Drajat, 2005:10 ) logika sangat penting dalam proses pengambilan hukum.
Etika, memelajari tingkah laku dan perbuatan manusia yang baik maupun yang buruk, termasuk di dalamnya mengajarkan moral, kesusilaan, sopan santun, maupun norma yang baik.
Estetika mengajarkan kegunaan nilai seni yang sangat berharga, seni melalui keindahan tampil dan berperan dalam berbagai kegiatan manusia, termasuk menimbulkan daya tarik karena keindahan (musik, nyanyian, pakaian, berbahasa, lukisan, dan bunga-bunga di halaman rumah) (Setidjo, 2010 :78). Selain itu, estetika berperan dalam mendukung pembudayaan, peningkatan proses pembelajaran, dan lain-lain.
2.5 Hubungan Antara Logika, Etika dan Estetika
Dari ketiga definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa logika, etika dan estetika saling berhubungan erat dengan dalam pembentuka ide yang dituangkan dan dan dikelola berdasarkan logika. Dalam mempelajari ilmu-ilmu untuk mendapatkan kejelasan dan tidak ada keraguan. Landasan, logika harus diterapkan untuk dijadikan pedoman.
Yang kedua, etika dalam proses mempelajari ilmu unsur etika sangat mendukung. Sebab etika berhubungan langsung dengan norma dan budaya. Dalam mempelajari ilmu, kita harus memperhatikan perilaku kita. Jangan sampai ilmu yang kita miliki merugikan, bahkan merusak norma dan kebudayaan yang kita miliki. Jika hal itu terjadi, maka sanksi sosial harus kita terima.
Dan yang terakhir adalah nilai estetika (keindahan). Ilmu akan lebih bermanfaat, jika bisa disebut ilmu itu indah, maksudnya ilmu dapat diterima dari beberapa unsur keindahan diri kita sendiri, manusia lain, dan alam serta lingkungan sekitar.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
• Logika memiliki arti : ilmu yang memberikan aturan-aturan berpikir valid (shahih), artinya ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti supaya dapat berpikir valid (menurut aturan/sahih).
• Jenis kebenaran dalam logika ada 2, yaitu:
a) logika formal atau logika tradisional disebut silogisme dalam arti membicarakan ketepatan kesimpulan
b) logika material membuktikan (menguji isi keputusan itu. Kebenaran bentuk dibicarakan dalam logika formal, sedangkan kebenaran materi dibicarakan dalam logika material.
• Etika merupakan penyelidikan filsafat mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari segi baik dan burunkya tingkah laku tersebut.
• Etika memiliki sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis. Etika dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara apa yang sah dan apa yang tidak sah; membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.
• Unsur atau Materi Etika ada 4, yaitu: nilai, hak, kewajiban, dan peraturan moral
• Ilmu estetika adalah sesuatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan.
• Ilmu estetika mengandung dua aspek : aspek ilmiah dan aspek filosofis
• Aspek ilmiah
• Manfaat Mempelajari Estetika :
1. Memperdalam pengertian tentang rasa indah pada umumnya dan tentang kesenian pada khususnya.
2. Memperluas pengetahuan dan menyempurnakan pengertian tentang unsur-unsur obyektif yang membangkitkan rasa indah pada manusia dan factor-faktoe obyektif yang berpengaruh kepada pembangkit rasa indah tersebut.
3. Memperluas pengetehuan dan penyempurnaan pengertian tentang unsur-unsur subyektif yang berpengaruh atas kemampuan manusia menikmati keindahan.
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki untuk memaksimalkan hasil makalah. Selain itu, perlu adanya masukan-masukan dan saran dari pihak yang bersangkutan.
DAFTAR RUJUKAN
Djelantik. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Media Abadi.
Drajat, Amroeni. 2005. Suhrawardi Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LKiS
Katsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Alih bahasa: Soejono Soemargono. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya
Praja, Juhaya. 2008. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media.
Praja, Juhaya. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Estetika. Jakarta: Prenata Media.
Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung: ITB
Setidjo, Pandji. 2010. Pancasila Sebagai Filsafat, Dasar Negara dan Ideologi. Jakarta:
Grasindo
Supriyanto, Stefanus. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Suriasumantri, Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu – Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Rabu, 30 Oktober 2013
dasar-dasar menulis
Dasar
– Dasar Menulis
Makalah
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah dasar – dasar menulis
Yang
dibina oleh bapak Pidekso Adi
Disusun
oleh :
1. Ahmad
wahyu
2. Nurul
laili
3. Wanudyoning
tyas
4. Yuslim
aulia h.
Universitas negeri malang
fakultas sasatra
Bahasa, sastra Indonesia dan Daerah
Oktober 2013
A.
Pengertian Daftar
Rujukan
Daftar rujukan sering disebut dengan daftar pustaka. Daftar rujukan merupakan
daftar yang berisi buku, majalah, artikel atau bahan lainnya yang dikutip
secara langsung atau tidak langsung. Daftar rujukan berfungsi memberikan
informasi kepada pembaca tentang sumber-sumber yang digunakan penulis dalam
menulis karangan ilmiah. Bahan-bahan yang dibaca, tetapi tidak dikutip
sebaiknya tidak perlu dicantumkan dalam daftar rujukan.
B.
Unsur-unsur Daftar
Rujukan
Pada dasarnya
unsur-unsur yang ditulis dalam daftar rujukan secara berturut-turut meliputi:
1.
Nama pengarang
Penulisan nama pengarang
dalam daftar rujukan adalah sebagai berikut:
- Ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama dari setiap kata,
- Dibalik susunannya yang terdiri dari nama keluarga dikuti dengan tanda koma, kemudian dilanjutkan dengan nama kecil atau nama depan
- Jika satu sumber terdiri dari dua pengarang, yang dibalik susunannya hanya nama pengarang pertama, sedangkang untuk pengarang kedua ditulis sebagaimana yang tertulis pada sumber.
- Jika sebuah sumber terdiri dari tiga orang pengarang, yang dibalik susnannya hanya nama pengarang pertama, sedangkan nama pengarang kedua dan ketiga ditulis sebagaiman tertulis pada sumber atau nama pengarang kedua dan ketiga diganti dengan singkatan dkk.
- Jika sebuah sumber lebih dari tiga orang pengarang, cukup ditulis nama pengarang pertama dan dibalik susunannya, sedangkan nema pengarang berikutnya diganti dengan singkatan dkk.
- Jika digunakan beberapa sumber dari pengarang yang sama, penulisan nama pengarang untuk penunjukan yang kedua dan seterusnya dapat digantikan dengan garis sepanjang tujuh ketukan.
- Jika sumber yang digunakan tidak dicantumkan nama pengarang, dapat digunakan nama lembaga sebagai pengganti nama pengarang.
- Judul
Ketentuan penulisan
judul sebagai berikut:
- Judul buku ditulis dengan huruf kecil, kecuali huruf pertama dari setiap kata yang bukan kata depan dan dicetak miring
- Jika sumber berupa artikel dari jurnal, majalah, atau surat kabar, judul artikel diapit oleh tanda petik sedangkan nama majalah, jurnal, atau surat kabar dicetak miring;
- Judul buku atau artikel harus ditulis lengkap sebagaimana tertera pada sumber.
- Data publikasi
Yang termasuk ke dalam data publikasi buku adalah tempat terbit,
tahun terbit, penerbit, edisi (cetakan), jilid, sedangkan majalah perlu
dicantumkan bulan dan nomor halaman.
C.
Sistem penulisan daftar rujukan
Sitem penulisan daftar
rujukan dikenal dengan sistem alfabetis/harvard, sistem numerik/vankouver
Ketentuan penulisan
daftar pustaka dengan sistem Harvard adalah sebagai berikut:
- Nama penulis ditulis dengan urutan; nama akhir, nama awal, dan nama tengan, tanpa gelar akademik
- Tahun terbit ditempatkan setelah penulis
- Judul, termasuk anak judul (sub judul)
- Kota tempat penerbitan, dan
- Nama penerbit
Unsur-unsur
tersebut dapat bervariasi tergantung jenis daftar rujukannya. Bila penulisnya
lebih dari satu, cara penulisannya sama dengan penulis pertama. Apabila sumber
yang dirujuk ditulis oleh tim, semua nama penulisnya harus dicantumkan dalam
daftar rujukan.
D.
Contoh Penulisan daftar
rujukan
- Sumber dari buku yang terdiri dari satu penulis
Suwignyo, Heri. 2013. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar
Pemahaman Teori dan Penerapannya (edisi revisi) cetakan ketiga. Malang: YA3
- Sumber dari buku yang terdiri dari dua penulis
Wellek, R. Dan Warren, A. 1977. Teori Kesusastraan. Alih bahasa oleh
Melani Budianta, 1988. Jakarta: Gramedia
- Sumber dari buku yang terdiri dari tiga penulis atau lebih
Sewijn, P.,dkk. 1996. Courseware
Development Methodology. Swiss : Federal Institute for Technology
Laboratory for Computer Aided Instruction.
4.
Rujukan dari Koran tanpa
penulis
Kompas. 23 Januari 2004. Ijazah
Penyetaraan Rawan Manipulasi, hlm. 12.
- Contoh Penulisan Daftar untuk sumber artikel dalam jurnal
Jauhari, Jaidan. 2005
(April). “Perangkat Lunak Pembangkit Geometri Fraktal Berbasis Fungsi
Polinomial”, Jurnal Ilmiah Forum MIPA FKIP Unsri. III (3), halaman
30-46.
- Contoh Penulisan daftar rujukan untuk sumber berupa Laporan tugas akhir, skripsi, tesis, dan disertasi
Meter, G. I. 2003. Hubungan antara Perilaku Kepemimpinan, Iklim Sekolah dan
Profesionalisme Guru dengan Motivasi Kerja Guru Pada SMU Negeri di Provinsi
Bali. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.
- Contoh Penulisan daftar rujukan untuk sumber berupa publikasi departemen/ atau lembaga
Dirjen Kelembagaan Agama Islam. 2002. Pedoman Pondok Pesantren. Jakarta:
Departemen Agama RI
- Contoh penulisan daftar rujukan untuk sumber dari internet
Noor, I.H.M. 2006. Model pelatihan Guru dalam Menerapkan Kurikulum Bahasa Inggris, (online),
(http://www.depdiknas.go.id/jurnl/30modelpelatihangurudalam
_menara.html), diakses 14 Mei 2006
_menara.html), diakses 14 Mei 2006
- Contoh penulisan daftar rujukan untuk sumber artikel dari internet.
Abdulah, A. 2004 (02 Oktober). Pendidikan
Jarak Jauh dan Implementasinya di Era Teknologi
Informasi, (online).
Tersedia : www.republika.co.id/articles
Diakses 25 Oktober 2005
10. Contoh Rujukan Berupa
Surat Elektronik yang ditujukan pada kelompok
Smith, M. 11 Maret 2001. Northern and Italian
renaissance. Pesan disampaikan pada kelompok (http://groups.google.com/groups/humanities.misc/message13), 11 Maret 2001
11. Contoh Rujukan Karya
Audio/Visual/Audiovisual
Dewa. 2004. Lascar
Cinta, (kaset rekaman). Jakarta: Ahmad Dhani production-PT Aquarius
Musikindoreg.
B. Table dan Gambar
1. Tabel
Penggunaan table dapat
dipandang sebagai salah satu cara yang sistematis untuk menyajikan data
statistic dalam kolom-kolom dan lajur, sesuai dengan klasifkasi masalah. Table
yang baik seharusnya sederhana dan dipusatkan pada beberapa ide. Tabel yang
baik harus dapat menyampaikan idea tau hubungan-hubungannya secara efektif.
Sehingga pembaca akan dapat memahami dan menafsirkan data secara cepat, dan
mencari hubungan-hubunganya. Memasukkan terlalu banyak data dalam suatu tabel
dapat mengurangi nilai penyajian tabel lebih baik menggunakan banyak tabel
daripada sedikit menggunakan tabel yang isinya terlalu padat.
Syarat-syarat suatu
tabel:
1. Tabel harus diberi
identitas berupa nomer dan judul tabel, dan ditempatkan di atas tabel
2. Jika tabel lebih dari
satu halaman, maka bagian kepala tabel termasuk teksnya harus diulang pada
halaman selanjutnya.
3. Akhir tabel di halaman
pertama tidak perlu diberi garis
horizontal
4. Pada halaman berikutnya, tuliskan lanjutan tabel ... pada tepi kiri, tiga
spasi dari garis horizontal teratas tabel.
5. Hanya huruf pertama kata
“Tabel” ditulis dengan menggunakan huruf besar. Kata “Tabel” di tulis
dipinggir, diikuti nomor dan judul tabel.
6. Judul tabel ditulis
dengan huruf besar pada huruf pertama setiap kata kecuali kata hubung.
7. Jika judul tabel lebih
dari satu baris, baris kedua ditulis sejajar dengan huruf awal judul dengan
jarak satu spasi.
8. Judul tabel tanpa
diakhiri tanda titik
Contoh :
Tabel 3.1 Kemampuan
Dasar Menyimak Kritis
No
|
Keterampilan
Dasar
|
Subketerampilan
Dasar
|
Contoh Pertanyaan
|
1
|
Kemampuan
Menafsirkan
Bacaan secara
Kritis
|
·
Mengartikan makna istilah khusus
·
Menafsirkan makna kalimat menurut konteks
kalimat yang lain
·
Menerjemahkan dalam bahasa lain
·
Menjawab secara kritis pertanyaan 5W1H yang
tersirat dalam bacaan
|
·
Terangkan maksud istilahyang sering dibaca
dalam istilah itu
·
Kalimat “Kerajaan yang dibangunnya dulu kini
telah ditinggalkannya.” Tentu bakan arti yang sebenarnya. Temukan maksudnya
dalam konteks kalimat tersebut
·
Terjemahkan dalam bahasa pertamamu ( bhs
Madura, Jawa, atau yang lain) pernyataan “Talkess do more”!
·
Menurut pemahaman anda, apa yang sebenarnya
terjadi?
|
2.
Gambar
Istilah gambar mengacu kepada foto, grafik,
chart, peta, sketsa, diagram, bagan, dan gambar lainnya. Gambar dapat
menyajikan data dalam bentuk-bentuk visual yang dapat dengan mudah dipahami.
Gambar tidak harus dimaksudkan untuk membangun deskripsi, tetapi dimaksudkan
untuk menekankan hunbungan tertentu yang signifikan. Gambar juga dapat
digunakan untuk menyajikan data stasistik berbentuk grafik.
Beberapa pedoman penggunaan gambar dapat
dikemukakan sebagai berikut
1. Judul gambar ditempatkan
di bawah gambar, bukan di atasnya.
Cara penuliasan judul gambar samadengan penulisan judul tabel.
2. Gambar haris sederhana
untuk dapat menyampaikan ide dengan jelas dan dapat dipahami tanpa harus
disertai penjelasan tekstual
3. Gambar harus digunkan
dengan hemat. Terlalu banyak gambar dapat mengurangi nilai penyajian data.
4. Gambar yang memakan
tempat lebih dari setengah halaman, harus ditempatkan dihalaman sendiri.
5. Penyebutan adanya gambar
seharusnya mendahului gambar
6.
Gambar diacu degan menggunakan angka, bukan dengan menggunkan kata
gambar di atas atau gambar di bawah.
Langganan:
Komentar (Atom)